Ego Nirwasita meronta hingga kepalanya dipenuhi perdebatan sengit. Bisa-bisanya Bapak menitipkan cita-cita yang tak tuntas pada anak gadisnya untuk kuliah di jurusan sastra Jawa. Sungguh lucu! Menginjak tanah Jawa saja merupakan hal langka bagi gadis yang lebih sering dipanggil Nirwa. Yang ia tahu tentang Jawa hanyalah dirinya yang "kebetulan" lahir di Yogyakarta, saat Bapak ditugaskan di kota itu. Yah, meski memang Nirwa pernah ke rumah Mbah di Ngawi saat masih kecil, ingatan itu hanya sekelumit.
Namun, pertarungan batin dan nalar Nirwa berakhir pada kata patuh. Nirwa menundukkan kehendaknya sendiri. Berbekal tekad demi kebahagiaan Bapak, yang tak lagi berteman Ibu, Nirwa kini menjadi mahasiswa sastra Jawa di universitas negeri paling diingini remaja lulusan SMA.
Di Wisma Gadjah Mada, Kaliurang, Nirwa duduk bersila di antara teman-teman baru dan kakak angkatan yang memenuhi ruang. Ia berusaha menekan segala rasa asing yang mengganggunya sejak turun di bangunan berusia hampir seratus tahun itu. Apalagi, moderator yang sedang melontarkan kalimat-kalimat berbahasa Jawa membuatnya terasing di keramaian. Rangkaian penataran P4, ospek universitas, hingga ospek fakultas tak berhasil membuat Nirwa memahami bahasa bumi yang dipijaknya sekarang.
Ketika malam semakin dingin, perutnya ngilu. Tubuh ringan tanpa timbunan lemak itu terlalu mudah bereaksi pada temperatur yang keluar dari batas normal.
"Istirahat saja di kamar, Dik," bujuk perempuan yang duduk di sebelahnya. Nirwa lupa namanya, meski baru tadi sore berkenalan di dalam bus menuju wisma untuk mengikuti acara malam keakraban.
Rasa sungkan Nirwa dikalahkan nyeri menusuk perutnya. Ia beranjak perlahan ke kamar yang telah dibagi entah berdasarkan apa. Untungnya, ia duduk di dekat pintu ruang kumpul sehingga tak menarik perhatian saat meninggalkan himpunan manusia yang--bagi Nirwa-- tak jelas tengah membahas apa.
Nirwa menghangati tubuhnya dengan minyak kayu putih lalu membungkusnya dengan selimut. Menahan nyeri yang belum reda, dibukanya pintu mimpi lewat pejam mata. Kantuk perlahan menghampiri Nirwa disertai suara embus angin yang semakin lama semakin jelas. Suara itu kemudian berubah menjadi denging melengking. Ngiiiing ....
Tubuh Nirwa seketika membeku, pori-pori kulitnya terbuka bersamaan bulu-bulunya yang tegak. Nirwa terbelalak tanpa kuasa bergerak maupun bersuara. Ia hanya bisa merasakan ada sesuatu datang mendekat, meski tak ada yang ditangkap penglihatannya. Nirwa berusaha membebaskan diri sekuat tenaga dari kekang, hingga tenaganya tak bersisa dan ia benar-benar terlelap.
Seorang lelaki muda tegak di hadapan Nirwa saat jelang subuh yang ia tahu begitu saja karena udara bahkan lebih dingin dari semalam.
Gadis muda yang perutnya tak lagi nyeri itu, terperanjat saat menatap wajah si lelaki. Tak ada mata, hidung, maupun mulut di wajah yang rata itu. Nirwa terjaga dari tidurnya dan lelaki itu tak tampak lagi, pun tak meninggalkan jejak.
Rasa ngeri masih meresidu di tubuh Nirwa ketika tiga teman sekamarnya susul-menyusul terbangun. Mereka tertib bergantian menggunakan kamar mandi, Nirwa sengaja menempatkan dirinya di urutan paling akhir.
Di antara kabut pagi yang tebal, Nirwa berada di barisan tak teratur perempuan dan lelaki yang berjalan-jalan mengelilingi wisma, mengolahraga, dan menikmati canda. Setelah semalam, tampaknya tak salah bila disebut malam keakraban karena mereka saling bertukar kata tanpa canggung, kecuali Nirwa. Ia tertinggal selangkah dalam lingkup pertemanan itu hanya dalam semalam.
"Asalnya mana, Mbak?" tanya perempuan di sampingnya, beberapa orang yang berjalan berdekatan di depan, belakang, dan sisi berlawanan si penanya turut menoleh. Nirwa mendadak gugup karena menjadi pusat perhatian.
"Samarinda, Kalimantan," jawab Nirwa tanpa bertanya kembali.
Pertanyaan yang sama dilontarkan oleh yang lain seiring waktu berjalan, seperti rekaman suara yang dinyalakan berulang. Nirwa tak benar-benar memberikan perhatian pada jawabannya karena sejak keluar dari wisma tadi, ia merasa diikuti. Selintas tertangkap ekor matanya ada bayangan yang melompat dari satu pohon ke pohon lainnya, mengiringi langkah Nirwa. Namun, ketika ia benar-benar menajamkan pandangan ke arah pepohonan lebat, bayangan itu tak nampak.
"Padahal ini sudah pagi," gerutunya dalam hati.
Nirwa menyantap sarapan yang telah siap saat kembali ke bangunan tua beratap ala rumah Minang, Bagonjong. Dimanfaatkan sisa waktu agar tak lagi tertinggal momentum hangat seperti tadi malam. Nirwa sukses menghapal satu nama saja, Jagad Lintang.
Selain namanya yang menarik bagi Nirwa, Jagad tampak mencolok dengan baju luar khas Jawa motif salur hijau tua dan coklat tanah. Kancing baju itu tak dipasangnya hingga menampakkan kaos hitam yang ia kenakan. Rambut ikal sebahunya dibiarkan tergerai, berantakan ala seniman menurut Nirwa. Jagad juga memimpin percakapan saat berkenalan dengannya sambil melahap nasi goreng. Nirwa merasa nyaman karena tak perlu berpikir keras harus bertanya atau bicara apa agar tak terkesan abai.