Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #3

Kesedihan Tak Perlu Diberi Kesempatan

Nirwa berkemas seperlunya, gegas bergerak seirama detak jantung yang memburu. Bapak kos berbaik hati mengantar Nirwa ke Bandara Adi Soetjipto untuk membeli tiket pesawat dengan jadwal penerbangan tercepat.

"Merpati ke Balikpapan, satu jam lagi." 

Nirwa memaparkan hasil perburuan tiket pesawat pada bapak pemilik kost, Pak Tedjo. 

"Masih jauh dari bandara?" tanya lelaki paruh baya yang tampaknya sedikit lebih sepuh dari bapak Nirwa.

"Saya di Samarinda, sekitar dua atau tiga jam dari Balikpapan. Makasih sudah mengantar, saya ditinggal saja ... enggak apa-apa, Pak."

Pak Tedjo meninggalkan Nirwa setelah memberikan kata-kata penghibur. Sayangnya, justru kata-kata itu yang membuat Nirwa tak mampu menahan deras air matanya. Beberapa langkah menjauh dari Nirwa, Pak Tedjo sempat menoleh dan tersenyum. Nirwa terhenyak, wajah Pak Tedjo berubah menjadi wajah Bapak yang tersenyum seraya melambaikan tangan. 

Yakin dengan firasatnya, Nirwa duduk di salah satu kursi dekat loket. Tubuhnya membungkuk dengan siku di paha, menopang tangannya yang menutupi wajah. 

"Nirwa ikhlas kalau Bapak harus pergi sekarang," ucapnya lirih dan terbata-bata. Bila takdir telah tiba, tiada daya Nirwa menentang. Ia berharap Bapak pergi tanpa rasa sakit.

Dua jam dalam pesawat, ditambah tiga jam perjalanan di atas bus, Nirwa diam memejamkan mata sambil sesekali mengusap pipinya yang basah. Kadang ia terlelap sejenak dan kembali terbangun hingga sampai di Samarinda. 

Djata, putra Pak Ahmad, berdiri di samping mobilnya, menunggu Nirwa keluar dari terminal bus. Disampaikannya kabar duka seraya memeluk dan membimbing Nirwa memasuki mobil yang dikendarainya. Pikiran Nirwa kosong. Meski firasatnya begitu kuat, tetap saja, kenyataan pahit tak bisa ditelan dengan mudah.

Di dalam mobil yang lambat melaju, tangis Nirwa tumpah. Djata tak berusaha menghentikan tangis itu karena gadis yang duduk di samping kanannya sangat butuh menumpahkan air matanya. Ia hanya berharap ketika sampai isaknya sedikit reda dan dadanya sedikit leluasa menarik napas.

Mobil berhenti di pinggir jalan depan rumah Nirwa karena halaman rumahnya telah dibanjiri para tetangga dan rekan kantor Bapak.

Bu Wati, istri Pak Ahmad, menuntunnya mendekat pada jenazah Bapak. Kali ini, Nirwa menahan air mata yang terus berkumpul di kelopak. Ia tak mau nestapa di dadanya memberatkan langkah Bapak berpulang.

"Sudah makan, Wa?" tanya Bu Wati. 

Nirwa menggeleng. Sejak pulang makrab siang tadi ia tak ingat makan, perutnya bahkan tak meronta minta diisi. 

Bu Wati menariknya lengannya, mengajak Nirwa ke ruang tengah dan menyodorkan sepiring nasi serta teh hangat. Nirwa tahu ia harus makan meski tak ingin. Banyak hal yang harus dilakukan demi mengantar Bapak. 

Kata-kata iba menyusup ke telinga Nirwa dari bibir-bibir pelayat, menyadarkan Nirwa dirinya kini sebatang kara. Malam ini akan sangat panjang dan gersang. 

*** 

Lihat selengkapnya