Nirwa duduk di kursi barisan kanan bus kota dekat jendela. Supir bus menginjak rem di depan Pasar Demangan, memberi waktu pada beberapa orang untuk naik. Seseorang menempati kursi di sisi kirinya. Refleks Nirwa mendekap erat tasnya sambil tetap memandang keluar jendela. Entah mengapa, tiba-tiba Nirwa merasa perlu meningkatkan kewaspadaan.
Bus semakin padat. Tangan lelaki di sebelahnya bergerak masuk ke dalam totebag putih milik penumpang yang berdiri di dekatnya. Secepat petir menyambar, lelaki itu berdiri dan menerobos kepadatan penumpang menuju ke pintu. Dada Nirwa berdebar, ia baru saja menyaksikan pencopet beraksi!
Nirwa tak bisa berkata-kata ketika korban pencopetan duduk di sebelahnya menggantikan si pencopet yang turun. Detak jantung Nirwa masih tak teratur hingga ia turun dari bus. Ia berjalan cepat ingin segera tiba di Fakultas Ilmu Budaya agar bisa menenangkan diri sebelum masuk kelas.
Nirwa kembali ke Yogya setelah dua puluh satu hari mengurus berbagai hal mendesak di Samarinda. Ia tertinggal banyak materi perkuliahan dan merasa jadi mahasiswa terbodoh. Demi mengejar ketertinggalan, sekaligus mengalihkan perhatian dari kekosongan hati yang tak juga terisi sejak Bapak pergi, Nirwa menyerahkan seluruh waktunya untuk belajar.
Pulang kuliah terakhir ia mendekati Jagad. Satu-satunya teman yang bisa ia mintai pertolongan dengan nyaman. "Boleh pinjam catatan?"
"Punyaku berantakan, Nir, lihat!" Jagad memamerkan satu buku tulis yang isinya merupakan catatan semua mata kuliah.
"Hahaha! Dicampur gini nanti nyarinya apa gak susah?"
"Makanya ...mending kamu pinjem Asti aja. Ti ... Asti!" Jagad menahan langkah Asti yang melintas di dekat mereka.
"Opo?" tanya Asti.
Jagad mewakili Nirwa meminjam catatan sambil mendekatkan Asti dan Nirwa.
Gadis bertubuh sintal itu membuka tasnya dan mengambil binder. Tingginya tak melebihi bahu Nirwa tapi geraknya gesit dengan ekspresi jujur. Asti tak ragu melonjak girang, mengepal marah, atau menendang penuh kesal. Mereka berbincang sejenak sebelum Asti pamit lebih dulu meninggalkan Jagad dan Nirwa.
Sambil berjalan menuju pemberhentian bus, Nirwa banyak bertanya tentang perkuliahan yang lalu serta buku-buku yang bisa membantunya belajar.
"Saiki nek kowe lagi karo aku, nganggo boso Jowo yo, gek ndang iso!"
Otak Nirwa kewalahan mencerna kata-kata berbahasa Jawa yang baru didengarnya. Seketika ia terbahak, "Nyata sudah kalau aku salah jurusan!"