"Aku dah liat duluan tadi tuh daun," protes seorang lelaki pada lima lelaki lainnya yang duduk berpencar tetapi pandangannya saling tertuju, beralih dari satu ke lainnya.
Seorang bapak tua yang baru saja turun dari bus rupanya sedang sial. Enam pencopet bergerak bersamaan, menghimpit di setiap sisi membuat si bapak tua bertanya-tanya apa yang terjadi dan kehilangan fokusnya. Hingga ketika menapak tanah, barulah ia sadar telah kehilangan lembaran berharga yang sebelumnya terlipat rapi di saku kemejanya. Sayang, kesadarannya terlambat hadir, bus telah melaju meninggalkan bapak tua yang lunglai.
Lelaki yang bicara, menyesali tangannya kalah lincah dari lelaki lain yang semringah penuh kemenangan, dan ia duduk persis di samping Nirwa. Tak ada rasa takut dikenali sebagai copet seolah profesinya adalah kebanggaan. Nyatanya, kenek dan penumpang lainnya tak ada yang berani bertindak.
Nirwa menyaksikan semuanya dengan jelas tapi hanya bisa bergeming dengan rasa takut, iba, sekaligus kesal yang coba ditelannya.
Berkali-kali melihat copet bergerak dengan beragam cara, membuat Nirwa jadi tahu cara melindungi isi tasnya. Untuk hal ini, Nirwa patut berbahagia. Tapi, tidak untuk hal-hal ganjil lainnya, terutama perasaan tengah dikuntit seseorang atau sesuatu.
Sampai di fakultas, Nirwa segera mencari Jagad ke tempat favorit mereka, kursi-kursi beton di bawah pohon asem besar. Ia berharap ketegangannya luruh saat beradu dengan senyum dan canda. Sayangnya, Jagad tak terlihat di tempat itu, Nirwa melanjutkan langkahnya menuju kelas.
Duduk di kursi belakang, dikeluarkan catatan Asti yang tuntas disalinnya hingga tengah malam. Tak lama, pemilik binder itu pun memasuki ruangan dan mendekat ke arahnya. Tanpa bertanya, Asti duduk di bangku kosong sebelah kanan Nirwa.
"Beres disalin?" tanya Asti.
Nirwa mengangguk, "Makasih, ya, Asti."
Jagad bersama tiga teman lain masuk kelas dengan riuh canda. Mereka menyerbu kursi-kursi di belakang kelas yang masih kosong. Jagad mengarahkan langkahnya mendekat pada Nirwa dan Asti, kemudian duduk di bangku depannya menghadapkan tubuh pada Nirwa.
"Dungaren, enggak biasanya jam segini Bu Retno belum datang!" ujar Jagad.
"Mugo-mugo ora teko!" celetuk Asti, "main yuk, kalau dosennya gak ada!" ajaknya kemudian.
Sekilas Nirwa bisa menebak arti ucapan Jagad dan Asti yang berharap dosen tak datang. Ia senyum karena hapalannya semalam meleburkan beku dalam kehangatan mereka. Teringat bisikan pagi tadi, tiba-tiba Nirwa terhenyak. Kedua temannya saling lirik, melihat keterkejutan Nirwa.
"Emm ... menurut kalian, keris tuh ada kekuatan mistisnya atau enggak?" Nirwa bertanya ragu.
"Kok tiba-tiba nanya gituan, Nir? Tergantung sih, kayak gimana kerisnya, yang hiasan juga kan banyak. Kenapa emang?" tanya Asti.
"Penasaran aja," jawab Nirwa mengurungkan niatnya bertanya lebih jauh.
"Kalau kamu penasaran soal keris atau yang tak kasatmata gitu, tanya Mas Nalar aja," timpal Jagad.
"Pak Nalar maksudnya?" Nirwa mamastikan. Ia ingat pernah dibantu olehnya saat pulang makrab.
"Iya, dia paham soal gituan. Mas Nalar enggak mau dipanggil Pak sama kita, wong dia juga baru lulus dua tahun lalu," jelas Jagad.
"Kosong, oiy, Bu Retno gak ada!" teriak ketua angkatan, Heru.
"Tenan ora?" sahut Jagad dengan nada tak kalah tinggi.
"Beneran, barusan aku cek ke ruang dosen, bubar, bubar!" Heru meninggalkan kelas paling dulu.
"Bonbin yuk! Lapar aku belum sarapan!" ajak Asti.
"Yuk, aku juga," jawab Nirwa.
Kantin fakultas sastra yang terletak di sisi timur gedung berlantai tiga yang baru direnovasi adalah Bonbin yang disebut Asti. Katanya, mahasiswa seumpama makhluk-makhluk belum berakal, layaknya binatang. Mereka perlu mengasah otak di kampus ini agar kelak berhak menyandang gelar manusia seutuhnya. Manusia yang akalnya bekerja untuk hidup agar tak berlaku menyerupai binatang.