Ruang tamu paviliun Nirwa bak kapal pecah, dipenuhi kertas-kertas hasil ketikan yang gagal meloloskan diri dari serbuan salah ketik maupun noda tip ex. Lembaran koran berserakan di sekitar Djata, lelaki berkulit coklat gelap yang duduk bersila dengan tubuh membungkuk dan kepala tepat di atas lembar koran yang terbentang di lantai. Coretan lingkaran tak rapi Pilot mekanik yang terselip di jari kanannya mengotori teks-teks koran di bagian lowongan kerja.
Suara mesin tik bercampur musik slow rock yang mengalun dari radio. Nirwa duduk memunggungi Djata, mengetik kalimat-kalimat yang ditirunya dari surat lamaran jadi yang telah dibuat Djata. Beberapa bagiannya dibuat berbeda menyesuaikan peluang yang diincar.
Bulan telah kembali purnama, Djata belum juga mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang pantas untuk hidup layak. Peluhnya menjadi saksi ketika harapan Djata tertuang di amplop-amplop coklat yang pada sampulnya melekat perangko dan cap pos. Beberapa lainnya bertanda pos kilat. Gelar sarjana ekonomi dari kampus kecil di Kalimantan, membuatnya patah arang. Hanya Nirwa yang jadi pecut bagi Djata untuk terus mencoba keberuntungan yang mungkin belum tiba.
Bagi Djata, gadis yang selalu menganggapnya kakak, adalah sebentuk tanggung jawab. Sejak tumbuh menjadi lelaki yang tahu makna lawan jenis, Djata menyayangi Nirwa dengan serius, seperti seriusnya keputusan menemani gadis itu di Jogja. Tadinya, Djata akan mengambil tanggung jawab itu setelah mapan, menjadi seseorang yang menyandang jabatan, tapi meninggalnya Om Pram, bapak Nirwa, memaksa Djata lebih cepat memutuskan. Meski sepihak, Djata telah mengantungi restu orang tuanya. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk meminta persetujuan Nirwa.
"Ta, laper enggak?" tanya Nirwa, menyadari jam makan siang telah tiba, dari perutnya yang terasa kosong dan udara yang mengundang peluh meski kipas angin telah berputar.
"Ah, iya. Yuk, cari makan. Mau apa?" Djata balas bertanya sambil melipat koran di depannya.
"Warung Pandawa situ aja yuk, aku suka masakannya," ajaknya sambil membayangkan menu yang akan disantapnya nanti.
"Mau udang goreng kan, makanya ngajak ke sana," tebak Djata.
Nirwa memamerkan gigi rapinya sambil menyipitkan mata. Hanya pada Djata ia bisa bermanja dengan jujur. Djata mengacak kepala gadis yang menguatkan tekadnya untuk berkorban apa saja.
Di depan pagar, keduanya bertemu dan saling melempar senyum sapa dengan Opik dan Surya, penghuni paviliun selatan. Mereka baru kembali arah warung yang sama dengan arah yang hendak dilalui Nirwa dan Djata.
Sebenarnya Djata iri dengan mereka karena tinggal berdekatan dengan Nirwa. Kost Djata masih di wilayah yang sama dengan Nirwa, berjarak sekitar satu setengah kilometer dan lebih dekat dengan kampus IAIN Sunan Kalijaga. Sebenarnya, lebih banyak warung makan maupun jajanan di sekitar sekitar kos Djata, tapi lebih nyaman dan aman untuk Nirwa bila bertemu di paviliun. Kost lelaki jarang yang berbau wangi sebab asap-asap rokok atau bau keringat bercampur bau kaus kaki yang tercecer. Djata juga tak rela membiarkan Nirwa dijadikan target kejahilan teman-teman kost yang belum lama dikenal.
"Es jeruk!" jawab Nirwa ketika Djata bertanya dari depan meja kasir.
Nirwa masih memilih lauk kesukaannya di etalase terbuka, sementara Djata memesan minuman dan menunggu di depan kasir hingga Nirwa selesai mengambil menu pilihannya. Lelaki itu tak pernah membiarkan Nirwa mengeluarkan rupiah setiap bersamanya.
Warung Pandawa tak pernah sepi, tapi juga tak terlalu sesak karena ruangannya luas memanjang dengan meja kursi yang ditata cukup berjarak sehingga tak berdesakan.