Selalu ada waktu yang tepat untuk mewujudkan niat. Di akhir ujian tengah semester, Nirwa ditemani Jagad meninggalkan Jogja. Djata yang mendapat panggilan wawancara ke Semarang, berat hati merelakan Nirwa pergi berdua saja dengan Jagad. Meski hanya teman, kebersamaan yang lekat bisa mengubah rasa biasa menjadi luar bisa.
Ketika Nirwa melontarkan permintaan untuk ditemani ke Ngawi, Asti sempat menyanggupi. Namun, dibatalkannya karena bertepatan dengan pernikahan tetangganya. Asti harus menjadi sinom yang menyajikan makanan pada para tamu. Hanya Jagad siap sedia dengan mata berbinar.
Candi Prambanan dilintasi bus yang membawa Nirwa menuju Ngawi membuatnya sadar, selama di Jogja ia hanya mengenal kostan, kampus, dan toko buku. Toko-toko di Malioboro jadi satu-satunya pengalih perhatian dari jemunya keseharian yang teratur.
"Pulang dari Ngawi nanti, pandu aku mengenal Jogja dong, Gad!" Keinginan yang tiba-tiba terbesit itu segera ditumpahkannya.
"Sendiko dawuh, siap! Kamu mau ke mana? Pantai, gunung, air terjun?" Jagad melempar tanya sekaligus menggoda Nirwa dengan destinasi wisata yang menggiurkan.
"Wah, sepertinya aku perlu bikin jadwal khusus buat wisata kalau gitu, padahal, tadinya cuma mau menghapal titik-titik penting dan rute bus saja. Tapi, tawaranmu menarik sekali!" Terbayang oleh Nirwa mata dan tubuhnya akan sangat dimanjakan keindahan alam dan angin yang menyentuh kulitnya.
"Tenang, Nir, kalau sama aku aman," lanjut Jagad seolah menjamin semua keinginan Nirwa akan laksana.
"Makasih, ya ...." Menyadari hanya pergi berdua ke luar kota, Nirwa mendadak canggung. Padahal hingga satu menit yang lalu, semuanya biasa saja bagi Nirwa yang terbiasa berteman dengan lelaki daripada perempuan. Entah apa yang membuat Jagad terasa berbeda.
Nirwa masih mengamati pemandangan yang ditangkap matanya sambil mendengarkan celoteh Jagad hingga kemudian terlelap. Jagad menarik kepala Nirwa ke bahunya agar tak terantuk jendela bus. Ia merasa beruntung bisa melihat--dari jarak yang sangat dekat-- wajah seorang gadis cantik yang tertidur lugu. Bagaimana mungkin ia tak ingin menjaga perempuan yang tengah lengah seperti itu. Jagad senyum.
Sebelum Jagad sempat membangunkan, Nirwa tersadar. Ia segera membuka lipatan lengan kemeja lalu mengusap wajah dengan bagian lengan bajunya itu.
"Kita sampai mana? Masih jauh?" tanya Nirwa.
Jagad menyodorkan botol air minum pada Nirwa sebelum menjawab pertanyaannya, "Sebentar lagi sampai."
"Pas banget aku bangun ya, ah ... maaf, tadi aku ...." Nirwa tak menyelesaikan kalimatnya, ia segera memeriksa lengan baju Jagad.
"Hahaha kenapa, takut ninggalin iler, ya?" Jagad tertawa melihat tingkah Nirwa yang kelabakan.
"Ngawi ... Ngawi!" teriak kondektur bus.
Jagad berdiri lebih dulu diikuti Nirwa, keduanya berjalan pelan ke arah pintu lalu melompat turun.
Nirwa melihat sekeliling kota yang sepi, kemudian mengais ingatan yang dapat membantunya menemukan alamat rumah Mbah.
"Sepertinya kita harus naik becak, seingatku tempatnya tak terlalu jauh."
"Biar aku yang tanya, Pak tahu jalan Karya Satu, jauhkah?"
"Mari saya antar, sebelah mana warung Bu Yoso?"
"Tempat bikin pilar, Pak." Nirwa menyela.
"Oh, Pak Suta, mari silakan!"