Soekiran Tjiptokoeswojo 1914-1988
Canggah, buyutnya Nirwa adalah satu dari empat orang hebat yang turut membangun Ngawi. Konon, Djiwo bersama tiga prajurit melarikan diri ke wilayah timur Sragen. Kerajaan tempat mengabdi telah lumpuh dikuasai musuh. Mereka berhenti di tepian bengawan yang mengalir dari pengunungan Sewu, Surakarta, hingga ke laut Jawa di Utara Surabaya. Kini dikenal dengan Bengawan Solo.
Berikrar saling mengikat diri sebagai saudara, mereka babat alas, membuka hutan menjadi lahan pertanian.
Djiwo, prajurit termuda, membangun tempat tinggal di dekat bengawan yang masuk ke wilayah Ngawi.
Aji mengambil bagian selatan Stadion Ketonggo, Ngawi, yang sekarang bernama Desa Beran.
Bagian selatan Madiun, timur lereng gunung Lawu menjadi pilihan Bayu, dikenal dengan Desa Nggorang Nggareng. Sementara Cokro membuka lahan di desa Pandansari, empat kilometer dari Desa Beran.
Lahan yang diolah Djiwo semakin lama meluas. Penduduk dari daerah lain mulai berdatangan dan ikut menetap. Namun, Belanda membuat benteng pertahanan di tepian bengawan itu. Benteng Van den Bosch yang masih berdiri hingga saat ini.
Djiwo diusir. Ia terpaksa membuka lahan baru di selatan benteng dan memulai kehidupan baru di dekat sungai kecil Njrubong. Kemudian, Djiwo menikah dan memiliki putra bernama Resodimedjo yang memberinya seorang cucu bernama Sukiran.
Sukiran kecil menjadi kesayangan Resodimedjo. Lulus dari Sekolah Dasar Bumiputra atau Hollandsch Inlandsche School (HIS)--sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak keturunan bumiputra-- Sukiran masuk pesantren, tapi baru tiga hari sekolah, ia ngambek tak mau ke pesantren lagi.
Rupanya, saat berangkat ke pesantren, Sukiran diejek teman-teman sepermainannya, bahkan ada yang mengabaikan sapaannya seolah Sukiran tak kasatmata.
Sukiran mengadu pada bapaknya yang mendadak panas hati anak kesayangan dihina. "Teman-temanmu naik apa ke sekolah?"
"Jalan kaki," jawab Sukiran.
Resodimedjo bergegas ke kota lalu pulang membawa sepeda baru. Hari itu juga Sukiran belajar naik sepeda.