Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #9

Memaknai Hidup, Memaknai Kematian

Ada jejak yang terputus ingatan 

Ada tapak yang terinjak tapak-tapak zaman

Terjejal ke perut bumi

Aku mengayuh ranting di pasir Jawa dan Madura

Mengukir seutas tali 

Akankah tersapu ombak?

November,1997

-Iwa-


Di atas Trunojoyo yang melintasi Selat Madura, sebait puisi tertuang pada diary bersampul kulit sintetis. Nirwa baru saja duduk di ruang penumpang setelah puas memandang laut dan bermain dengan angin yang membelai pipi sekaligus menerbangkan rambutnya.

Usai sarapan sego pecel sambel lethok pagi tadi, Nirwa dan Jagad sepakat mewujudkan keinginan Bapak yang belum tunai untuk ziarah ke Madura. Jagad yang lebih antusias membulatkan tekad Nirwa yang ragu bepergian terlalu jauh ke tempat asing. Lelaki itu menggambarkan serunya bertualang menjelajah tempat-tempat baru. 

Semua pertimbangan Nirwa luruh dibakar semangat Jagad. Ditambah dorongan rindu pada Bapak yang membuat Nirwa ingin terus mengais jejaknya, mengusir kehilangan yang hampa. 

Nirwa dan Jagad hanya berbekal petunjuk dari Suta untuk sampai ke Pelabuhan Ujung Surabaya dan menyeberang ke Pelabuhan Kamal Bangkalan. Kepala Nirwa sibuk memetakan rencana, resah bila yang dituju tak sampai. Ia tak mau hanya mendapat lelah setelah banyak rupiah berubah jadi karcis-karcis dan bahan bakar tubuh. Tapi, gadis itu cukup tenang menyadari Jagad siaga berdiri di sisinya. Entah berapa banyak utang kebaikan yang harus ia bayar pada sahabat pertama sekaligus sahabat terbaiknya.

Kapal telah bersandar di dermaga Pelabuhan Kamal. Padatnya penumpang kapal yang turun berjejal menggugah naluri Jagad untuk menggandeng tangan Nirwa. Gadis itu sempat terkejut sebelum membalas genggamannya. Tepat di pintu keluar, Jagad sigap menuang tanya pada petugas pelabuhan untuk sampai ke makam raja-raja Madura. 

Jagad dan Nirwa kelabakan ketika ditanya lebih rinci tentang tujuan mereka. Makam raja-raja Madura tak hanya satu dan tersebar di beberapa wilayah. Setelah menyebutkan nama buyutnya, barulah mereka mendapatkan petunjuk yang jelas, meski Nirwa masih meragukan arah yang mereka tuju.

Beruntung keduanya tak perlu berjalan jauh, meski tetap berpeluh untuk sampai ke terminal. Minibus tak menyisakan kursi kosong ketika mulai bergerak membawa mereka menjauh. Nirwa dan Jagad harus bertahan hingga empat puluh menit di dalam minibus yang menampung suhu matahari siang. Jendela yang terbuka tak cukup menggiring angin untuk menyejukkan tubuh-tubuh berkeringat.

Pasarean Sultan Abdul Kadirun, berdiri tepat di sebelah barat Masjid Agung Bangkalan. Bangunan beratap limasan dengan empat pilar besar menyangga bagian teras depan bangunan yang dipenuhi makam. Puluhan batu nisan tertancap di area teras dan di bagian dalam bangunan.

Demi memuaskan rasa ingin tahunya, Nirwa bertanya tentang buyutnya, Pangeran Adinegoro, pada juru kunci makam.

"Kanjeng Sultan punya delapan istri dan tiga puluh tiga putra putri. Pangeran Adinegoro adalah putra kedelapan belas atau putra kedua dari selir Djai. Sayangnya, Pangeran tidak dimakamkan di sini."

Pasarean Sultan Raden Abdul Kadir dilindungi congkop penutup makam yang ditopang empat tiang penyangga dilengkapi tirai putih yang diikat ke tiangnya saat dibuka. Seni pahatan memperindah setiap detail batu nisan seputih pualam.

"Masjid yang dikenal sebagai Masjid Agung Sultan Abdul Kadirun Bangkalan, awalnya merupakan masjid keraton, lalu Raden Abdul Kadirun merenovasi dan memperluas area masjid yang kemudian digunakan secara bebas oleh penduduk. Sebagai penghargaan atas jasanya memperluas masjid, jenazahnya dikebumikan di komplek Masjid Agung Bangkalan ini," lanjut sang juru kunci.

Ia menceritakan sebagian raja Madura dikebumikan di Pemakaman Aermata. Dituturkannya kisah pertapaan Ratu Ibu, Syarifah Ambami, yang memohon pada Tuhan agar kelak keturunannya dapat menjadi pemegang pucuk pimpinan di Madura hingga tujuh turunan.

Lihat selengkapnya