Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #10

Demi Gadis Itu

"Pokoke Sastra Jawa, nek ora gelem yo nggolek duwit dhewe, urip sak karepmu!" 

(Harus sastra Jawa, kalau enggak mau, ya, cari uang sendiri, hidup sesukamu!"

Ultimatum Bapak membuat Jagad terpaksa mengalah, demi Ibu. 

"Bapak cuma mau kamu banyak belajar. Ilmu itu bukan di kepala saja tapi di tingkah laku. Enggak ada salahnya tho manut. Ibu juga capek jadi penengah kalian terus," keluh Ibu seraya menasihati putra bungsunya. 

Selain pelaksana operasional keraton, abdi dalem juga merupakan abdi budaya yang menjadi suri tauladan bagi masyarakat. Abdi Dalem harus bisa menjadi contoh kehidupan di masyarakat, bertindak berdasarkan unggah-ungguh, paham tata krama. Bapak merasakan ketentraman dan kebahagiaan batin sejak pensiun dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil lalu mengabdikan diri di keraton. Ia berlatih menerapkan Credo Watak Satriya yang dicetuskan Sri Sultan Hamengku Buwono I, nyawiji, greget, sengguh, lan ora mingkuh. (1)

Bapak mau Jagad menjadi abdi dalem punakawan yang bekerja layaknya pegawai kantor, bukan seperti Bapak yang merupakan abdi dalem keprajan karena baru mendarmakan diri setelah pensiun. Sebagai orang Jogja asli, Bapak ingin Jagad menjaga adat budaya agar lestari. Bapak yakin dengan menjadi abdi dalem, Jagad bisa menjadi sosok yang bertanggung jawab dan tidak hidup menyimpang karena terikat dengan janji credo watak satriya. 

Sejak kecil, Jagad sering diajak Bapak ke keraton. Ia turut mengenakan seragam lurik pranakan mirip yang dikenakan Bapak, lengkap dengan blangkon di kepala dan jarit gagrak Jogja menutupi kaki. Selama di keraton, Jagad melepas alas kaki dan berbicara dengan krama inggil, bahasa Jawa paling halus atau diam bila tak paham. Ia wajib "anteng" selama ikut Bapak. Tapi, jiwa remajanya menolak segala keteraturan itu, Jagad mulai menolak diajak ke keraton karena menemukan dunianya sendiri. Dan itu menjadi pemicu renggangnya hubungan Jagad dan bapak.

Segala hal jadi salah di mata Bapak. Jagad yang berbahasa santai ngoko sering tidak didengar bapak yang menganggap anaknya tak lagi punya sopan santun. Jagad yang mengenakan lurik sebagai outer yang merupakan gaya fashion kesukaannya, dianggap bentuk pembangkangan. Hingga setiap hal kecil yang tak disukai Bapak, menjadi salahnya Jagad. 

Jagad menerjemahkan sikap Bapak sebagai bentuk kebencian yang jelas, dibalas kebencian yang lebih menyala olehnya. Padahal, awalnya, Jagad tak sebenci itu pada Bapak maupun profesi abdi dalem-nya. Tapi, semua sikap Bapak menuntunnya untuk antipati pada segala hal yang disukai Bapak. 

Seperti Nirwa, Jagad masuk jurusan sastra Jawa karena terpaksa. Namun, ia tak mengalami kesulitan dan kendala berarti seperti halnya Nirwa. Tanpa Jagad sadari, keberadaan Nirwa bersama kesulitannya memahami perkuliahan, membuat Jagad punya semangat berangkat ke kampus. 

Empat hari penuh bersama Nirwa rupanya membuat Jagad candu pada keberadaan gadis yang selalu menyita perhatiannya. Ia mulai hapal kebiasaan Nirwa bangun pagi, kesukaan Nirwa menulis diary, serta hobinya sarapan sego pecel di bonbin. Ia semakin ingin mengenal Nirwa sejak kebersamaannya semakin lekat. Cerita-cerita yang melatari hadirnya seorang Nirwasita mampir dan terus mengendap di kepala Jagad. Kisah yang ia kantongi dari Ngawi hingga Madura, turut menggetarkan hatinya untuk membuka kembali pintu yang sempat tertutup untuk Bapak. Hanya demi gadis itu. 

"Bu, aku minta bantuan Bapak, ngomongnya gimana?" Jagad ragu karena berinteraksi dengan Bapak selalu berakhir pertengkaran tak jelas.

"Yang sopan, terus lihat bapakmu lagi capek enggak." Ibu memberi saran.

"Bantuin, Bu," rayu Jagad tanpa malu bertingkah seperti bayi.

"Ih, kayak enggak bisa ngomong aja. Kamu udah gede, sana bilang sendiri butuh apa." Rayuan Jagad rupanya tak mempan pada Ibu.

Lunglai Jagad meninggalkan dapur, dan Ibu yang masih sibuk memasak. Ia kembali ke kamarnya. Susah payah ia meredam gengsinya untuk mendekati Bapak. Tapi, akhirnya ia menemukan momen yang tepat ketika makan siang bersama di meja makan. Kebiasaan yang telah lama dilupakan Jagad. 

"Bapak, ngapunten, kulo ajeng tangled, menawi Bapak saget nulungi kulo mlebet perpustakaan keraton?"(2)

"Ngopo?"

"Rencang kulo betah pados trahipun." (3) 

Jagad lalu bercerita tentang Nirwa yang tengah mencari jejak sejarah moyangnya, Raden Mas Condroningrat.

Diluar dugaan, Bapak langsung memberi arahan pada putranya. Dengan mata berbinar, Jagad berterima kasih pada Bapak. Tanpa disadari lelaki yang beranjak dewasa itu, Bapak senyum tipis meluapkan bahagianya karena sang putra berupaya kembali dalam pelukannya. 

Lihat selengkapnya