Djata sedang duduk meluruskan kaki di lantai teras paviliun saat Nirwa dan Jagad tiba. Nirwa mempercepat langkah ke arah Djata yang berdiri menyambutnya.
"Kenalin, kakakku, Djata!" ucap Nirwa membalikkan badan, berhadapan dengan Jagad, bersisian dengan Djata.
Djata mengulurkan tangannya pada Jagad dengan senyum di wajah, meski tak suka diperkenalkan sebagai kakak.
"Jagad," ucap lelaki yang menjabat tangan Djata segera. Jagad mengerti arti kakak yang dimaksud Nirwa, karena ia tahu, Nirwa anak tunggal.
Insting lelaki keduanya seketika bekerja, mereka adalah rival. Tapi, tidak bersikap saling memusuhi.
"Aku langsung balik aja ya, Nir, udah malam." Jagad berpamitan. Ia sadar diri, belum siap adu kecakapan dengan Djata untuk memenangkan gadis di hadapan mereka. Sudah pasti Djata lebih banyak tahu dan mengerti Nirwa dibanding dirinya.
"Iya deh, makasih ya Gad, udah mau direpotin," balas Nirwa seraya mengantar Jagad hingga ke pintu pagar.
Nirwa kembali dan membuka pintu rumah, mengajak Djata masuk.
"Seangkatan?" Djata duduk bersandar ke dinding.
"Iya, aku kan pernah cerita. Dia yang nemenin aku ke Ngawi kemarin," jawab Nirwa menjatuhkan tasnya di dekat Djata sambil tetap berdiri.
"Oh. Barusan dari mana?"
"Perpustakaan keraton. Kamu penasaran kan aku ngapain .... Bentar ya, aku bikinin kamu minum dulu." Nirwa hendak melangkah menuju dapur ketika dihentikan Djata.
"Eh, Wa. Kalau kamu enggak capek, kita makan di luar yuk?"
"Enggak kok, kalau cuma makan sih, ayo, aku juga belum makan." Nirwa berbalik ke arah pintu dan kembali mengunci pintu rumah setelah Djata ikut keluar.
Tanpa Nirwa duga, Djata menghentikan tukang becak yang melintas di depan mereka. "Galeria, Pak," ucapnya menyebut tujuan.
"Aku tuh khawatir enggak bisa hubungi kamu selama seminggu."
"Ya gimana lagi, Om Suta enggak punya telepon. Kamunya juga lagi ke Semarang. Gimana, diterima kerja di sana?"
"Heem. Lusa mulai kerja. Makanya aku nyempetin ke sini. Catet nomor telepon mess-ku, Wa."
"Syukurlah, selamat ya, Ta." Nirwa mengeluarkan diarynya, mencatat nomor yang diberikan Djata. Lalu memasukkan kembali dalam tas punggung mungilnya.
Becak telah berhenti di halaman Galeria mal. Djata turun lebih dulu lalu memegang tangan Nirwa saat ia turun. Gadis itu mengikuti langkah Djata menuju kafe terkenal yang tersebar di beberapa kota.
Nirwa memesan salad dan french fries sementara Djata memilih spaghetti.
"Anak kos makan mewah, nih!" seru Nirwa.
"Kalau kurang tambah. Nanti, aku usahakan tiap minggu ke Jogja, ngajak kamu jajan. Jadi, sisihkan hari Sabtu dan Minggu khusus buat aku, ya!"
Nirwa tersenyum lucu menandakan ia sangat setuju dan menyukai rencana Djata. Tiba giliran Nirwa menceritakan pertemuan dengan pamannya, berlanjut ke petualangannya ke Madura, seluruhnya tanpa ada yang terlewat. Termasuk alasan awal yang memunculkan tanya agar segera bertemu jawaban.
"Djata percaya hal gaib?" tanya Nirwa usai menyelesaikan cerita perjalanannya sambil sesekali dijeda menyuapkan kentang goreng dan salad bergantian.
"Percaya dong. Tuhan juga kan sesuatu yang gaib."
"Maksudku, hal mistis yang tadi aku ceritain?"
"Aku percaya kamu, Wa. Tapi, menurutku, mungkin kita menganggapnya mistis hanya karena belum menemukan jawaban sebenarnya atau alasan ilmiahnya. Aku sih mikirnya gitu," terang Djata.
"Hmm ...." Nirwa tak bisa berkata-kata karena otaknya masih mencerna penjelasan Djata.
"Aku cuman mau kamu enggak terlalu memikirkan hal negatifnya. Lagian, ada hal baik yang terjadi seperti kamu bertemu kerabatmu. Gimana, senang?"