"Pulang bareng aku, yuk! Aku bawa motor." Jagad menawarkan jasa untuk mengantar Nirwa ketika keluar dari ruang kuliah.
Nirwa menimbang hari yang mulai senja. Bus kota akan berjejal dipadati anak sekolah dan mahasiswa yang pulang berbarengan. Tawaran Jagad menjadi sangat menggiurkan tapi sedikit membebani.
"Enggak ngerepotin?" tanyanya hati-hati.
"Apa sih, Nir. Kayak baru kenal aja," protes Jagad.
"Hehe ... aku ngerasa sering banget minta bantuan kamu, nanti kamu sebel lagi sama aku," balas Nirwa menjelaskan.
"Kalau gitu, biar kamu nyaman, gimana kalau sekarang bukan aku yang nganter kamu tapi kamu yang nemenin aku?"
"Haha, maksa gak sih?"
Jagad selalu bisa membuat Nirwa tertawa dan mengikuti mau lelaki itu tanpa terpaksa. Malah, ide yang keluar dari kepala Jagad selalu menarik bagi Nirwa.
Si Pitung melaju ringan menuju arah pulang dengan rute yang lebih cepat. Tetapi, Jagad tidak membelokkan motornya ke arah rumah Nirwa ketika sampai di tempat Nirwa biasa turun dari jalur tiga. Ia terus melaju dengan santai sambil tersenyum jahil, menunggu respon perempuan di belakangnya.
"Jagad, mau nyulik aku ya?"
Suara Nirwa yang dinanti, akhirnya terdengar Jagad.
"Haha ... emang boleh?" Jagad balas bertanya.
"Emang kalau aku bilang enggak kamu mau antar aku ke rumah?"
"Enggak," jawab Jagad santai.
"Kita mau ke mana?"
"Jalan-jalan sekalian menuhin janji aku buat nganterin kamu keliling Jogja. Biar kamu mulai hafal sama kota kita yang istimewa ini."
Nirwa mendadak ingat cerita Ibu yang kerap menyebutnya Tuan Puteri karena Nirwa lahir di dalam benteng keraton.
"Kamu tahu Namburan? Kata Ibu sih masih area dalam benteng keraton."
"Mau ke sana?"
"Heem. Aku lahir di sana."
"Sendiko dawuh, Den Ayu," canda Jagad yang segera mengarahkan motornya ke tujuan yang diinginkan Nirwa.
Angin sore terasa lembut menerpa kulit wajah Nirwa. Ia belum hapal jalan-jalan di Jogja karena hanya bepergian mengandalkan bus. Diperhatikannya bangunan, pohon-pohon yang berjajar rapi di trotoar, dan segala yang tertangkap lensa matanya.
Ia percayakan seluruh perjalanannya pada Jagad yang mengendarai si pitung dengan laju yang tak lambat, tak juga cepat, seperti sengaja memberikan waktu untuk Nirwa menikmatinya.
"Ini Malioboro, kalau lurus nanti kita ke keraton bener kan?" Nirwa memastikan satu-satunya area yang dihafalnya.
"Iya. Nanti kita lewat Wijilan, mau mampir makan gudeg?"
"Enggak, ah. Nanti aja pulangnya kita jajan, yuk!"
Jagad mengiyakan usul Nirwa. Tak butuh menit yang terlalu banyak untuk mereka sampai di Namburan. Si Pitung berhenti di dekat tulisan Jl. Namburan Lor. Saksama Nirwa mengamati sekelilingnya. Sebuah rumah tua yang masih kokoh menarik perhatiannya. Jendelanya dari kaca berwarna warni dan sebagian dinding luarnya ditempeli mozaik keramik. Ia bertanya-tanya mungkinkah rumah itu tempatnya lahir dulu. Tapi, Nirwa sama sekali tak dapat mengingat secuil kenangan masa kecilnya. Mungkin, ia masih terlalu mungil untuk bisa menyimpan kenangan penting dalam hidup. Tak apa, Nirwa menghibur diri, setidaknya, ia kini mengenal bumi tempat pertama kali menghirup udara.
"Udah, yuk!" ajaknya setelah gagal mengais memori.
"Ayo, kang ojek udah siap," ujar Jagad yang sejak tadi tak beranjak dari jok motornya.