Sabtu kembali tiba. Nirwa sudah bersiap meski hari masih pagi dan tak ada jadwal kuliah. Yang ada adalah jadwal menyelesaikan pesan Om Suta untuk menjamasi keris Mbah Putri dan Mbah Kakung.
Keberadaan empu di Yogyakarta tak lagi banyak. Langkanya pembuat keris, membuat setiap empu kewalahan menerima pesanan. Menurunkan ilmu pada warga dan keluarga juga tak mudah. Tak banyak yang benar-benar menaruh perhatian apalagi berniat menjadi penerus.Yang tersisa hanyalah anak cucu cicit dalam satu trah, sejak zaman Majapahit, dengan usia yang semakin sepuh.
Sesuai janji, Jagad menjemput dan mengantar Nirwa ke rumah seorang empu. Dari arah timur melewati jalan Godean, terus ke arah barat menembus ringroad sampai menemukan sebuah tugu bercat kuning di perempatan jalan, lalu belok kanan ke utara. Dekat sebuah tugu berwarna biru di pertigaan jalan, ada papan penunjuk arah bertuliskan Empu Barata, bagian lancipnya mengarah ke barat. Jagad membelokkan motornya ke kiri dan berada di jalan itu hingga lima ratus meter hingga sampai ke tujuan.
Empu Barata adalah sahabat bapak Jagad, sesama abdi dalem di keraton dengan tugas dan jabatan yang berbeda. Empu bertanggung jawab memelihara seluruh pusaka keraton yang selalu dipakai untuk upacara-upacara adat setiap tahunnya.
Jagad mengetuk pintu yang segera dibuka dari dalam oleh seorang pemuda. Bersama Nirwa, mereka dipersilakan duduk menunggu Empu Barata.
Lelaki sepuh berusia hampir tujuh puluh tahun itu membawa sebilah keris yang baru selesai dibuat. Ia meletakkan kerisnya di meja lalu menyalami Jagad dan Nirwa.
Membuat keris tak sekedar menempa besi dan baja di dalam besalen. Pembuatannya diawali dengan menempa dua bilah besi wasuhan yang telah ditempa berulang kali agar bersih dari zat pengotor. Di antara dua besi wasuhan itu, disisipi bahan pamor nikel atau batu meteor di tengahnya.
Pamor akan menjadi corak terang pada permukaan keris yang gelap. Pola pamor menggambarkan keahlian para empu mencipta keris. Besi dan pamor terus ditempa dan dilipat hingga tercipta lapisan-lapisan yang menyatu.
"Keris zaman sekarang hanya memiliki 256 saton (satuan lipatan), kalau dulu bisa lebih dari seribu saton. Maklumlah, pesanan banyak tapi tenaganya sedikit." Empu Barata berkisah.
"Mana kerisnya?" tanyanya kemudian.
Nirwa mengeluarkan dua bilah keris dari dalam tas punggungnya, kemudian meletakkannya di atas meja.
Empu Barata mengajaknya memasuki sebuah kamar. Harum bunga dan minyak wangi yang tajam, menyerbu penciuman Nirwa dan Jagad, seketika memasuki ruang.
Mereka duduk lesehan mengelilingi meja persegi pendek. Nirwa memerhatikan lengan tua itu masih bisa bergerak cepat dan hati-hati ketika mengambil bahan dan melakukan tahap demi tahap pembersihan kerisnya.
Cairan jeruk nipis dioleskan pada keris, meluruhkan sisa minyak dan kotoran yang melekat, lalu keris disiram air hingga bersih.
Setelah kering, warangan berbahan arsenik dioleskan berulang kali, agar terhindar dari karat keris diolesi minyak kelapa yang dicampur dengan minyak cendana. Di setiap tahapannya, Empu Barata menjelaskan gerak yang ia lakukan.
"Ini isinya bagus, cocok buatmu, Nduk."
"Maksudnya cocok gimana, ya, Pak?"
"Kamu sudah bisa merasakan, lama-lama akan tahu. Memahami keris tergantung pada 'kadhewasaning Jiwa Jawi', kedewasaan orang dalam berfikir dan bersikap secara arif dan bijaksana. Semakin kaya pengalaman rohani – semakin ia mampu menjabarkan apa yang tertera di dalam sebilah keris," jawabnya tersenyum penuh arti.
Tuntas menjamasi keris, mereka kemabli ke ruang tamu.
"Kenapa kamu enggak pernah ke keraton lagi, Gad?"
"Ehm ... kulo sibuk kuliah, Pak." Alasan Jagad.
"Banyak orang penasaran pengen masuk keraton tapi enggak bisa, kamu punya kesempatan untuk belajar, malah ogah-ogahan. Setidaknya, kamu bisa menceritakan pada temanmu ini, seperti apa wajah keraton yang bukan sebagai tempat wisata," nasihat Empu Barata.