"Ullen Sentalu: Ulateng blencong sejatine tataraning lumaku”.
"Ini artinya apa Gad?" tanya Nirwa ketika membaca sebaris kalimat yang diduganya sebagai arti dari Ullen Sentalu.
"Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. Lampu blencong ini penerang buat layar di pertunjukkan wayang kulit. Wayang kulit kan mewakili sosok manusia, jadi lampunya ibarat pelita kehidupan manusia." Jagad menjelaskan rinci hingga Nirwa mengangguk.
Sampai di depan loket, Nirwa menunggu Jagad selesai membeli tiket. Lelaki itu menolak saat Nirwa menyodorkan sejumlah uang untuk membayar tiket masuk museum yang baru dibuka sembilan bulan lalu.
Seorang pemandu telah berdiri di pintu masuk, lalu memimpin langkah di depan, menentukan alur sambil menuturkan kisah dibalik benda-benda yang dipamerkan. Nirwa dan Jagad berjalan bersama delapan pengunjung lain.
Lahan museum berlereng, terletak di sisi selatan Gunung Merapi. Ada beberapa bangunan bernuansa Jawa dan Belanda. Dari satu bangunan ke bangunan lain, ada yang dihubungkan dengan lorong bawah tanah lalu berlanjut ke undakan panjang dari bawah tanah menuju selasar terbuka. Nirwa dan Jagad seakan berolahraga mengikuti bentuk lahan yang naik turun untuk mencapai bangunan berikutnya.
Di beberapa lorong sempit dan berkelok atau bangunan yang terasa kosong, Nirwa sempat bergidik. Ia menarik lengan Jagad untuk berjalan lebih cepat di area-area yang membuat dirinya merasa sesak atau tak nyaman.
Namun, tak seperti museum lain yang berupa ruang pameran tertutup, Ullen Sentalu membuat Nirwa dan Jagad merasa sedang berwisata di alam terbuka. Udara yang Nirwa hirup terasa bersih dan melegakan dada. Mata pun dimanjakan dengan tampilan dinding bangunan yang berupa batu-batu alam yang selaras dengan pohon-pohon dibiarkan tumbuh alami hingga menjuntai, menambah sejuk dan segarnya angin yang menyapa kulit.
Nirwa dan Jagad mengamati patung raja-raja beserta permaisurinya dengan berbagai macam pakaian yang dikenakan untuk acara formal maupun untuk keseharian. Di ruangan lainnya terlihat berbagai lukisan dan kain batik.
"Lukisan Jumenengan ini menggambarkan prosesi tarian sakral Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tari Bedhaya ditampilkan setahun sekali dalam rangka memperingati penobatan sultan. Dan Kain batik bermotif Urang Wetan ini pernah dikenakan oleh permaisuri KGPAA Paku Alam X yang bernama GBRAAy Retno Puwasa.
Alat musik gamelan, arca, surat-surat, lukisan, dan artefak yang ada di sini merupakan peninggalan atau replika yang menggambarkan budaya Mataram yang terpecah menjadi empat keraton Jawa, yaitu Keraton Surakarta, Keraton Yogyakarta, Puro Mangkunegaran, dan Puro Pakualaman." Penjelasan dari pemandu museum merayap dari telinga hingga ke otak dan hati Nirwa. Entah kenapa, semakin banyak tahu, ia semakin ingin tahu lagi tentang Jogja dan Mataram.
"Kapan-kapan kita ke Taman Sari, belum pernah ke sana kan?" tanya Jagad, menarik Nirwa dari dunia di kepalanya.
"Tempat apa itu?" tanya gadis yang matanya masih berbinar melihat pemandangan di sekitarnya.
"Tempat pemandian para putri keraton. Kamu harusnya kalau mandi di sana ... haha," canda Jagad.
"Ih, kan ... belum jelas juga. Yuk, kapan ke perpustakaan lagi?" Ullen Sentalu mengingatkan Nirwa akan tugasnya yang belum tuntas.
"Aku sih ayo kapan aja. Aku selalu ada buat kamu, kok, ehem." Jagad berucap sambil senyam-senyum seolah kata-katanya hanya canda, padahal jantungnya berdebar kencang tak terkendali.
Nirwa ikut tertawa sambil menerjemahkan desir halus yang terasa janggal di dalam dadanya. Ia menundukkan kepala, tak berani menatap wajah Jagad. Ini pasti gara-gara nuansa museum yang romantis meski sedikit mistis.
Nirwa melirik jam tangannya. Sudah lewat tengah hari. Nyaris saja ia lupa janjinya meluangkan hari Sabtu untuk Djata. Djata pasti sudah sampai.
"Gad, pulang yuk!" ajaknya pada Jagad.
"Makan siang dulu, yuk. Udah telat loh ini, nanti kamu sakit."
"Enggak, pulang aja. Belum lapar." Nirwa beralasan.