Langit senja yang merah mengantar sebuah keluarga bertamu ke rumah Asti yang tampak lebih cantik dari biasanya. Pot-pot tanaman tertata rapi di kanan dan kiri pintu masuk. Sejak pagi, seluruh keluarga Asti sibuk berbagi tugas merapikan rumah, berbelanja, dan memasak untuk menjamu rombongan yang baru saja tiba.
Asti duduk di ruang tamu dengan kebaya kutubaru hijau tua dan sarung batik berwarna krem bercampur hijau yang sama dengan pakaiannya. Wajahnya dipoles bedak tipis dengan pewarna bibir merah bata dan alis yang digambar rapi dengan pensil cokelat. Tak seperti kesehariannya, Asti menahan diri sekuat tenaga untuk tetap duduk manis dan tersenyum sopan. Meski pertahanannya sempat goyah ketika melihat seseorang yang ia kenal, berada di antara para tamu yang baru saja masuk dan duduk di ruang yang sama. Asti terpaksa menutup bibirnya yang menahan tawa dengan telapak tangannya sambil menunduk. "Lah, kok ada Mas Nalar?" tanyanya dalam hati.
Tak jauh beda dengan Asti, Nalar menjaga senyum sepanjang acara lamaran sekaligus pertunangan Asti dengan lelaki yang dijodohkan oleh ayahnya, Seto, adik sepupu Nalar. Dosen Asti itu tak sabar ingin menggoda calon keluarga barunya. Sayangnya, kesempatan itu tak ada. Asti didampingi para ibu, berada ruang terpisah bersama dengan Seto agar mereka kenal lebih dekat. Asti lebih banyak bertanya pada Seto dengan banyak canda, seperti biasanya. Tak perlu lagi jaga image karena mereka akan hidup bersama kelak. Kedua ibu tidak benar-benar terlibat perbincangan itu, mereka sibuk sendiri membahas rencana pernikahan Asti dan Seto.
"Jadi, aku mau nikah pas liburan semester dua nanti!" seru Asti sambil memamerkan cincin tunangannya pada Nirwa saat berjumpa di kampus keesokan harinya.
"Secepat itu?" Nirwa membelalakkan matanya tanpa sadar.
Tadinya, Nirwa kehilangan minat berangkat ke kampus, ada rasa kosong dalam dada sejak Djata kembali ke Semarang. Tapi, cerita panjang Asti yang disajikan dengan mata berbinar dan senyum malu, membuat perasaan galaunya terabaikan.
Nirwa masih tak percaya sahabatnya akan menikah dengan lelaki yang belum lama dikenalnya. Bagaimana bisa?
"Ti, kamu beneran mau nikah muda? Kuliahmu nanti gimana?" Nirwa memastikan pendengarannya tak salah menafsirkan kalimat Asti.
"Loh ya kuliah aja, enggak ada larangan kuliah buat orang yang udah nikah, kenapa bingung?" Asti menjawab santai.
"Calonmu enggak apa-apa?"
"Iya dia yang minta, soalnya dia enggak mau nunggu sampai aku lulus, takut aku keburu kabur katanya hahaha," Asti menjawab ringan semua pertanyaan Nirwa.
"Eh, aku lihat kamu kemarin naek delman berdua. Siapa tuh ... pacarmu?" Asti baru akan pulang dari Pasar Beringharjo usai membeli jajan pasar untuk suguhan, ketika tanpa sengaja melihat Nirwa.
"Bukan. Aku sama kakakku, Djata." Nirwa malu karena Asti menggodanya begitu.
"Kamu 'kan tunggal, kakak ketemu gede dong?Jagad patah hati nih!"
"Kenapa?"
"Jagad itu suka sama kamu. Masa kamu gak sadar sih?"
Nirwa tak tahu harus menanggapi dengan kalimat apa, ia malah teringat ucapan Djata malam itu. Bolehkah ia berpura-pura tak tahu saja demi pertemanan yang tetap indah seperti sekarang? Atau haruskah ia bersiap menjalin hubungan yang lebih dari sekedar teman?
Melihat Nalar berjalan ke arah mereka, Asti menyadarkan Nirwa dari lamunan.
"Aku malu ketemu Mas Nalar, nanti digodain. Aku duluan ya, Nir!" Asti berlari meninggalkan Nirwa.
Nirwa tak lagi terkejut dengan sikap Asti yang sering bergerak mendadak diluar dugaan. Ia hanya tertawa sambil menggelengkan kepala, memperhatikan Asti yang terus menjauh.
"Sendiri? Mau ke mana?" Sapa Nalar yang telah berdiri dua langkah di hadapan Nirwa.