Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #17

Edelweiss Gunung Lawu

Ruang kelas hanya terisi lima orang yang datang bersusulan. Kemudian setengah jam berlalu tanpa kehadiran dosen, lima pasang kaki bergerak meninggalkan kelas bersamaan. Jagad ada di antaranya. Langkah kakinya gontai sambil menoleh ke kanan kiri hingga sesekali berbalik ke belakang mencari seseorang. Tentu saja, matanya merindukan sosok Nirwa yang belum terlihat sejak ia menginjakkan kaki di kampus. 

Seolah janjian, Asti juga tak tampak meski sudah dicari ke setíap titik pertemuan tempat mereka kerap duduk bersama. Tanpa pikir panjang, Jagad segera menuju parkiran mengajak si Pitung menyusuri jalan ke satu tujuan.

Baru dua hari tak bertemu, Jagad merasa hampa. Semua yang ia lakukan hanya mengingatkannya pada gadis itu. Dua hari yang memporakporandakan cahaya dalam hatinya. 

Roda si Pitung berputar di jalanan menemani hati tuannya yang diliputi cemas. Sakitkah? Pergi bersama Djata-kah? Tidakkah ia rindu seperti aku? 

Rumah dan dua paviliun di samping kanan dan kirinya tampak sepi. Jagad membuka pagar perlahan, menuntun si Pitung memasuki halaman dan menurunkan standar motor tepat di depan paviliun Nirwa. 

Jagad mengetuk pintu paviliun sambil berharap bisa memberi kejutan pada Nirwa yang tak menduga kedatangannya. Harapannya terkabul.

"Hei, kok enggak kuliah?" sapa Jagad ketika pintu terbuka memamerkan wajah Nirwa yang tersenyum.

"Jagad! Hmm ... kuliah Mas Nalar kosong kan?" Jawaban Nirwa meminta penegasan dari Jagad.

Sebelum meninggalkan kost Nirwa kemarin, Nalar menyarankan Nirwa agar hari ini tak perlu ke kampus karena ia tidak akan mengisi kuliah. Beberapa dosen lain juga tidak akan hadir karena ada seminar. 

"Aku kira kamu sakit. Tapi, syukurlah kalau baik-baik aja. Curang ih dapet bocoran!" Jagad berusaha sekuat tenaga tidak memperlihatkan rindu menggunung yang menggelisahkan denyut jantungnya. Ia menutupinya dengan tawa. 

Duduk lesehan di ruang tamu yang dialasi karpet bludru tipis berwarna coklat, jantung Nirwa berpacu tak kalah cepat dengan denyut dada Jagad. Baru kali ini berdua saja terasa canggung. Entah karena ini pertama kalinya Jagad masuk ke rumah, atau karena ia sudah tahu perasaan Jagad yang disembunyikan darinya. Nirwa sampai lupa menawari Jagad kopi krim sachet yang selalu tersedia di dapurnya akibat terlalu sibuk menata mengatur ritme.

"Oh, aku bawa ini," Jagad mengeluarkan kotak warna warni berisi donat. Sepanjang jalan tadi ia memikirkan apa yang harus ia bawa untuk Nirwa. Pertanyaan itu terjawab ketika plang toko donat berwarna-warni memancingnya berhenti. 

"Bandoro bilang mau anterin sarung keris. Tadinya, mau aku ambilin aja buat kamu, tapi dia bilang mau sekalian cek, pas atau enggak biar bisa segera diperbaiki kalau belum cocok. Jadi, aku kasih alamat kamu dan janjian di sini, gapapa kan?"

Nirwa mengangguk sambil menyesal sudah terlalu percaya diri menebak Jagad datang karena rindu dan perhatian padanya. 

"Aku baru muncak, makanya kemarin enggak masuk." Jagad bercerita.

Usai mengantar Nirwa Sabtu, Jagad memutuskan untuk mendaki gunung Lawu. Malam itu setelah hujan reda, bersama dua temannya Jagad menuju pos Cemoro Sewu dan berkemah sambil menunggu pagi. Jalur pendakian yang disusuri Minggu pagi membuat tanah-tanah basah menempel dan menambah berat langkah kakinya.

Pendakian ini jadi pelarian Jagad, berharap kabut dan udara sejuk membekukan hatinya yang terbakar mengingat Nirwa tengah bersama Djata. Di kepalanya terus berputar potongan adengan romantis Nirwa bersama lelaki itu seperti sebuah cerita bergambar yang tercipta dari khayalnya. 

Lihat selengkapnya