Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #18

Pertanda yang Diingkari

Diam itu emas. Nirwa pikir seperti itu caranya menangani kata-kata yang sekedar rumor tak berdasar. Nyatanya, diam menjadi bahan bakar yang menyirami kobaran gosip miring tentang hubungannya dengan Nalar. Gosip yang membakar daya hidup Nirwa.

Di atas tanah yang ditumbuhi rumput, Nirwa duduk merenung. Sisa embun masih ada, membasahi telapak tangan Nirwa. Matahari bersembunyi di balik langit kelabu seolah enggan menguapkan sisa-sisa kabut, membiarkan embun tetap melembabkan tanah. Hati Nirwa terluka disayat kata-kata Bu Kasih, baru saja, sebelum ia melangkah ke taman paling sudut bagian utara fakultas ilmu budaya. Sudut yang jarang dikunjungi maupun dilewati siapa pun, kecuali petugas taman.

Usai kuliah tadi, Nirwa diminta Bu Kasih, dosen pengantar kesusastraan Jawa, mengikutinya keluar kelas. Tanpa tahu mau membahas apa, Nirwa patuh saja mengekor hingga Bu Kasih berhenti di sebuah kelas kosong dan menutup pintunya.

"Saya enggak akan lama. Nirwasita, kamu tahu Pak Nalar sudah punya istri?"

"Tahu, Bu."

"Kenapa kamu masih pergi kencan, makan berduaan padahal gosip tentang kalian sudah lama beredar. Apa kamu tidak peduli?"

"Maaf, Bu. Hari itu Mas Nalar yang ...."

"Mas? Kamu panggil dosenmu "Mas"? Saya yang sesama dosen saja manggil Pak, loh! Apa benar kalian tidak ada hubungan?" selidik Bu Kasih.

"Benar, Bu. Saya enggak ...."

"Saya masih enggak percaya karena enggak akan ada asap tanpa api. Yang jelas, kamu harus jaga jarak sama Pak Nalar. Saya sebagai sahabat istrinya bakal ngawasin kamu terus. Ingat baik-baik!"

Sulit membuat orang yang tidak percaya untuk percaya, karena ia sendiri sudah membangun tembok tinggi untuk menerima kebenaran. Penjelasan apa pun akan disangkalnya. Nirwa tak tahu apa yang harus ia lakukan untuk meredam gosip, apalagi menghapusnya.

Sejak Nirwa meninggalkan kelas bersama Bu Kasih, Jagad diam-diam mengikuti karena khawatir. Ia bisa menguping pembicaraan mereka karena suara Bu Kasih yang menembus ruang tertutup itu. Jagad menjauh setelah paham apa yang terjadi.

Ia mengamati Nirwa yang baru keluar ruangan dari jauh, memberi jeda sejenak agar gadis itu tak menyadari dirinya sedang diawasi. Waktu berlalu sepuluh menit saja, Jagad tak sanggup lagi bertahan. Ia mendekati Nirwa seolah tak sengaja menemukannya di tempat itu.

"Hei, lagi ngapain? Aku tunggu di bonbin gak muncul-muncul. Ayo, ke rumah Bandoro!"

"Eh, Jagad. Sorry, aku lagi pengen sendirian bentar tadi. Yuk!" balas ya sembari mengembus napas resah.

Tiga hari berlalu sejak kerisnya terbawa atau sengaja dibawa Bandoro, Nirwa belum juga bisa menemukan lelaki itu. Padahal, Jagad sudah berulang kali ke rumahnya meski tanpa Nirwa. Ia juga bertanya pada teman-teman yang mengenal Bandoro.

Nirwa bungkam selama roda si Pitung berputar. Celoteh Jagad tak sampai di telinganya hingga lelaki itu turut gelisah. Ia menarik gas agar fokusnya teralihkan pada jalanan dan segera sampai ke rumah Bandoro di Sayegan, Godean.

Lihat selengkapnya