Rumah memang tempat yang nyaman, tapi tak jarang juga menjadi sumber masalah. Apalagi, bila tak ada teman bicara di dalamnya, rumah bisa menjadi neraka yang diciptakan oleh gambaran-gambaran buruk yang lahir dari prasangka, seolah-olah bisa melihat masa depan yang belum nyata.
Nirwasita butuh pergi untuk lupa pada penat yang mengguncang dunia damainya. Travel minibus mengantarnya ke tempat Djata bekerja, Semarang. Ia duduk di kursi belakang supir, dekat jendela, dan tertidur setelah melintasi batas kota Jogja.
Pulang dari Parangtritis semalam, setelah Jagad pergi, Nirwa membuat janji dengan Djata untuk bertemu di Semarang.
Seharusnya, empat jam cukup untuk sampai ke kantor Djata. Namun, kendaraan berulang kali mengantar penumpang ke tujuan masing-masing. Nirwa baru sampai ke tujuan menjelang waktu kerja Djata berakhir.
Di trotoar depan kantor Djata, Nirwa bisa melihat kakaknya itu dari kaca bening showroom. Djata sedang bersama perempuan- perempuan bermake-up tebal, berseragam rok mini. Selintas terpikir salah satunya akan jadi pendamping Djata kelak. Lalu, lamunan lainnya sambung-menyambung. Nirwa hanya berdiri di luar, menunggu Djata melihat dari balik kaca dan menjemputnya. Nirwa tak mau mengganggu Djata yang harus menyelesaikan menit-menit terakhir waktu kerjanya.
"Iwa, sini!"
Djata memanggil Nirwa yang mematung dengan pikiran yang tak tersambung pada raga. Diraihnya jemari Nirwa hingga gadis itu tersentak dan kembali sadar.
"Kaget ya, haha ... suruh siapa melamun!" ucap Djata seraya menuntun Nirwa menuju gang di samping showroom.
Keduanya memasuki sebuah rumah yang letaknya berdempetan dengan tembok belakang kantor Djata.
"Di belakang showroom ada kantor. Aku kerja di kantornya, tadi memang lagi nunggu kamu di showroom. Dan ini mess karyawan. Kamu tunggu bentar di sini, aku mandi dulu ya. Eh, apa mau minum sesuatu yang hangat?"
"Aku mau kopi, dong." jawab Nirwa duduk bersandar di sofa ruang tamu mess yang tak ada bedanya dengan sebuah rumah besar dengan banyak kamar.
"Oke. Kamu santai aja, aku udah bilang teman-teman kalau kamu akan datang."
Djata membuatkan kopi krim panas kesukaan Nirwa dengan air dari dispenser. Satu per satu penghuni mess mulai berdatangan. Mau tak mau Nirwa mengenalkan diri saat mereka bertanya dengan rasa penasaran yang terbaca jelas lewat mimik dan sorot matanya.
"Nirwa, adik Djata." jawaban yang sama Nirwa lontarkan. Tak heran, respon yang sama juga harus Nirwa telan. "Adik apa "adik", nih?"
Mess ini untuk karyawan laki-laki, tetapi tak jarang teman kerja perempuan mampir dengan tujuan yang bermacam-macam. Seperti Arum yang kini tengah duduk di sofa yang sama dengan Nirwa.
Ia mengajak Nirwa berkenalan, bertanya macam-macam tentang Djata hingga membuat Nirwa kelelahan, meski tak semua pertanyaan itu dijawabnya.
"Eh, Arum. Belum pulang?" sapa Djata.
"Heem. Aku malas pulang, pengen ngobrol sama Mas Djata dulu seperti kemarin-kemarin," jawab Arum dengan nada jauh berbeda dengan saat bicara pada Nirwa.
Nirwa senyum menahan tawa dan meraih gelas kopi, bersiap menyesapnya sambil menekan perasaan geli mendengar suara Arum.
"Maaf, ya, Rum. Aku mau pergi sama Nirwa. Udah kenalan kan? Ada Mas Mario sama Juna, tuh!" balas Djata mengulurkan tangannya pada Nirwa.
"Saya pergi dulu, Mbak." pamit Nirwa sambil berdiri menyambut jemari Djata lalu mengikuti langkah lelaki berambut legam yang masih tampak basah.
Djata memberikan helm hijau muda berpadu putih dengan gambar kupu-kupu pada Nirwa. Helm itu masih mulus dan mengilap tampak baru.
"Helm siapa nih, Ta?" tanya Nirwa mengira Djata meminjam helm milik teman kerja perempuannya.
"Helm kamu, aku sengaja beli waktu kamu bilang mau kesini. Aku juga pinjam motor kantor biar kita bisa jalan-jalan. Kita cari penginapan dulu buat kamu, ya."
"Wah, makasih, Ta. Kamu terbaik emang!" puji Nirwa sambil tertawa.
"Suka?"
"Heem. Kamu inget ya aku suka hijau?"
"Iya dong. Yuk!"
Motor berhenti di sebuah warung. Djata membeli nasi goreng dan babat gongso sebelum menuju penginapan yang tak jauh dari mess dan tempat kerja Djata.