Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #21

Merayakan Malam Tanpa Kantuk

Jagad memacu si Pitung sekencang-kencangnya sepulang dari kantor polisi, meninggalkan Nirwa bersama Djata meski tak rela. Semangatnya terkuras demi menahan bara di dada. Cemburu yang menyakitkan! Tapi, ia tak punya hak untuk melarang apalagi menunjukkan amarah. Salahnya sendiri terlanjur menyukai Nirwa terlalu dalam. Sepertinya, ia harus memperjelas keadaan agar lebih terang arah mana yang harus ditempuh, memperjuangkan atau merelakan. Jagad meneguhkan hati untuk bicara pada Nirwa, bukan untuk jadi pacar pura-pura tetapi mengakui bahwa ia menyukai dan menyayangi gadis itu.

Di atas roda dua, Djata membawa Nirwa menyusuri jalanan tanpa tujuan, bergerak lurus terus menjauh dari pusat kota. Nirwa masih sesegukan di boncengan hingga beberapa saat berlalu. Setelah berhari-hari menelan semua sesak dan mengkamuflasekan dalam tawa, pertahanan Nirwa runtuh.

Djata menyadari telah semakin jauh dari rumah ketika matanya menatap candi yang menjulang, tersamarkan oleh pepohonan tinggi.

"Wa, sampai Prambanan, nih. Mau mampir mumpung sampai sini atau sudah ingin pulang?"

"Mampir yuk, Ta. Tapi, aku lapar," jawab Nirwa dengan suara parau.

"Haha, kebanyakan nangis jadi lemas ya? Itu ada angkringan, mau?" tawar Djata.

"Mau," balasnya pendek sembari mengusap kedua matanya dengan jemarinya.

Djata membelokkan motor dan mematikan mesin tepat di samping angkringan yang mangkal di bawah pohon pinggiran jalan.

Makan sekadarnya, Djata dan Nirwa bergerak lagi memasuki pagar Candi, membeli tiket, lalu berjalan-jalan di sekitar taman.

"Ngobrol di sini aja, teduh," ajak Djata yang duduk lebih dulu di bangku taman.

"Haaah!" Nirwa melenguh panjang seolah melepaskan beban dari hati.

"Sekarang, kamu bilang sama aku, kamu mau gimana? Lakukan apa yang bisa dilakukan sekarang. Ayo kita cari kos mumpung aku di sini dan ada motor. Aku juga harus tahu kamu pindah ke mana dan memastikan tempat tinggalmu aman dan nyaman."

"Tapi, Ta, enggak mungkin deh kalau harus cari kos sekarang. Besok aku tanya teman-teman dulu aja. Jagad juga udah bilang mau bantu."

"Jagad lagi. Kamu enggak merasa terlalu merepotkan temanmu itu?"

"Hah? Iya, aku tahu aku emang bisanya ngerepotin aja. Kamu juga capek kan aku repotin melulu!" Nirwa tiba-tiba berdiri, melangkah cepat meninggalkan Djata.

Ia berlari menuju candi, memaksa diri menaiki ratusan anak tangga di bawah langit mendung. Air matanya menetes lagi.

Djata menyesali kata-kata yang sembarangan melompat keluar hanya gara-gara nama Jagad disebut. Ia berlari mengejar Nirwa yang tak menghiraukan panggilannya. Gadis itu tengah kecewa.

"Wa, Iwa! Tunggu, dengerin aku dulu, Wa!" Djata berteriak di antara embus angin yang kencang dan napas tersengal.

Pengunjung lain yang rata-rata anak SMA rombongan wisata, melirik ke arah Djata sambil berbisik-bisik. Ada pula yang berani melantangkan suara usil, "Cie, dicuekin!"

Djata mengumpat dalam hati sambil memaksa langkah yang mulai berat. Tapi, Nirwa tinggal selangkah di depan. Djata meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya erat.

"Maafin aku, bukan gitu maksud aku, Wa. Sebanyak apa pun kesulitan kamu, aku maunya kamu cuma bersandar sama aku aja, enggak sama yang lain!" Kalimat panjang Djata didengar Nirwa, tapi ia masih memalingkan wajah dari Djata.

Djata melangkah ke anak tangga yang dipijak Nirwa. Merangkum wajah Nirwa dengan kedua tangannya, "Maafin aku, ya?" pintanya dengan tatap penuh harap.

"Aku tuh capek cuman bisa nyusahin orang, Ta. Tapi, gimana ... aku selalu jadi sasaran empuk masalah-masalah yang sama sekali enggak pernah aku bayangin. Aku rasanya enggak sanggup lagi! Aku mau mat ...." Djata segera menempelkan telunjuknya pada bibir Nirwa.

"Enggak boleh gitu, Wa. Sini!" Djata menepuk dadanya agar Nirwa bersandar. "Kamu masih punya aku, selalu punya aku di sisi kamu. Kamu enggak pernah sendirian, Wa."

Detik itu, hujan turun tanpa aba-aba, mengguyur tubuh Nirwa dan Djata. Ratusan pengunjung bergegas turun mencari tempat berteduh, sementara Nirwa dan Djata menikmati hujan yang melarutkan gelisah.

***

"Nirwa, ke mana aja?" tanya Asti yang duduk di samping kiri Nirwa.

"Ada."

Belum sempat menjelaskan, dosen Sejarah Jawa masuk. Sepanjang kuliah Nirwa lesu, mendengarkan tapi tak menyerap ucapan dosen yang terasa seperti dongeng.

Nirwa masuk kuliah lagi setelah bolos dari Kamis hingga Rabu, sengaja memanfaatkan satu jatah bolos setiap mata kuliah. Keluar dari kelas, Nirwa melekatkan diri pada Asti, berupaya agar tak terseret keadaan yang memaksanya berdua dengan Jagad. Setidaknya bila bersama Asti, Jagad tak akan mengungkit masalah yang membebaninya. Tanpa diduga, Jagad malah terlihat asyik tertawa berdua dengan seorang perempuan berambut ikal sebahu dengan kulit coklat yang tampak manis. Gadis itu telah berdiri di luar kelas sejak pintu terbuka, seakan sengaja menunggu Jagad.

Perasaan Nirwa sejenak berantakan, tapi sekejap berikutnya ia berhasil menatanya kembali. Banyak hal yang membuatnya lebih hancur dari sekedar melihat Jagad bersama gadis itu.

Lihat selengkapnya