Nirwasita bukannya tak peka pada rasa yang dicurahkan Jagad padanya. Namun, bentuk perhatian seperti itu adalah hal biasa yang ia terima dari Djata maupun teman-teman yang kerap datang ke rumah. Nirwa selalu dijadikan "anak bungsu" saat berada di antara mereka. Bedanya sekarang, Jagadlah yang pertama kali diingat dan dicari setiap kali muncul pertanyaan di kepala Nirwa.
Malam sudah pergi, kedua mata Nirwa dan Asti mulai terasa perih seiring matahari beranjak naik. Keduanya terlelap jam tujuh pagi hingga melewatkan kuliah.
Jagad mengetuk pintu paviliun tepat tengah hari, membawa dua bungkus bakso dan dua es jeruk.
"Lah, kok di sini?" Jagad terkejut melihat Asti yang berdiri di pintu kamar, ketika Nirwa membukakan pintu rumah.
"Masuk, Gad. Asti nemenin aku semalam. Ah, aku cuci muka dulu." Nirwa berkata sambil menutupi wajahnya dengan tangan kiri.
"Ada mangkuk gak? Aku bawain bakso nih!" seru Jagad agar Nirwa yang tengah beranjak ke belakang, mendengarnya.
"Pasti cuman dua tho!" tebak Asti sambil bergerak ke dapur menggantikan Nirwa mengambil mangkuk dan gelas.
"Hahaha iya, nggo kowe wae karo Nirwa!" ucap Jagad merelakan jatah baksonya untuk Asti.
"Asyik. Lah, kowe mangan opo?"
"Aku es jeruknya aja!"
Nirwa duduk bergabung dengan kedua temannya. Wajahnya cerah, sebagian rambut depannya masih basah.
Berkat Asti Nirwa tak canggung bercengkerama dengan Jagad sambil melahap bakso yang dibawa Jagad. Es jeruknya, ia bagi dua untuk Asti.
Setelah tandas, Asti pamit pulang. "Aku pengertian, kok, Gad!" Asti menggoda Jagad.
Menghilangkan canggung, Jagad mengeluarkan buku yang dibawanya untuk Nirwa belajar menjelang ujian akhir semester. Gadis yang tengah dirundung masalah itu pasti tengah kehilangan minat dan tak punya waktu belajar, pikir Jagad.
"Enggak kerasa udah satu semester. Kalau enggak kamu bantu, mungkin aku udah pulang ke Samarinda. Eh, Gad ... enggak jadi deh." Nirwa ragu.
"Eh apaan, jangan malah bikin penasaran aku," timpalnya.
"Aku kepikir gini, Mas Nalar 'kan punya koleksi keris, kira-kira dia bisa bantu cari info tentang kolektor asing yang bawa keris aku enggak ya?"
"Bisa jadi, sih, kita coba tanya aja."
"Tapi, Gad. Aku enggak mau ambil risiko gosip di kampus tambah parah. Aku juga malu udah menjauhi dia di kampus. Kalau aku nanya soal ini, tebel muka gak sih?"
Jagad mengerti keadaan Nirwa. Ia mengajak gadis yang disukainya itu bermain logika hingga akhirnya Nirwa luluh pada pendapat Jagad, "Mas Nalar pasti mengerti. Aku tahu rumahnya, kita ke sana, yuk!"
Matahari tak lagi garang, angin berembus pun tak lagi hangat. Nirwa duduk di boncengan si Pitung menuju rumah Nalar di Sagan.
Seorang perempuan yang tengah menggendong bayi membukakan pintu untuk Jagad dan Nirwa. Ratri, istri Nalar yang menyambut mereka, membuat Nirwa kikuk. Terbayang wajah ketus Bu Kasih serta pikiran betapa istri Nalar membenci Nirwa, seperti juga dosen perempuannya.
Tapi, Nirwa salah, Ratri sangat ramah menyambut mereka bahkan ketika Nirwa telah menyebut namanya.
"Oh, ini Nirwa. Duduk dulu, aku panggilin Mas Nalar."