"Djata!" seru Nirwa memasuki paviliun yang lengang. Pintu kamar yang sehari lalu masih ia tempati, tertutup rapat. Nirwa mengira Djata masih tidur.
"Kenapa, Wa?" tanya Djata dari arah dapur mengejutkan Nirwa.
"Kirain masih tidur. Antar aku ke rumah Pak Bintang, yuk! Ada kabar tentang kerisku. Cepetan pakai baju, Ta!" Nirwa tak sabar menunggu kabar gembira.
Satu jam sebelumnya, Nalar mengatakan lewat telepon bahwa mereka ditunggu Bintang Atmaja. Nirwa berkejaran dengan waktu demi menjemput berita bahagia. lalu berpamitan pada Pak Tedjo yang tengah duduk membaca koran di ruang tamu.
Djata yang baru selesai mandi segera merapikan diri. Dinyalakannya motor lalu melaju mengikuti navigasi dari Nirwa. Sambil melaju, Nirwa bertutur tentang pertemuannya dengan Bintang yang belum sempat ia ceritakan pada Djata.
Djata mengatur laju roda dua perlahan seraya mendengarkan cerita Nirwa.
Keduanya tiba lebih dulu dari Nalar. Ia dan Djata menunggu di halaman parkir galeri sambil memerhatikan pohon kamboja merah muda. Tiba-tiba saja, Nirwa teringat mawar merah muda dari Jagad dan tersenyum sehingga memancing Djata bertanya. "Kenapa senyam senyum?"
"Enggak apa-apa, bunganya cantik." Nirwa memungut kamboja kuning yang tergeletak di dekat kakinya.
Djata malah curiga ketika Nirwa menjadikan bunga sebagai alasan. Sejak kapan pula gadis tercintanya itu menyukai bunga.
Tak lama kemudian Nalar terlihat dari kejauhan. Nirwa melambaikan tangannya.
"Kenalkan, Mas." Ucap Nirwa ketika Nalar baru saja melepas helm dan menaruhnya di kaca spion.
"Djata. Terima kasih sudah bantu Nirwa, Mas," lengannya terulur mengenalkan diri.
"Nalar. Tidak masalah. Yuk! kita sudah ditunggu di tempat kemarin." Nalar menyambut tangan Djata lalu memimpin langkah melewati jalan yang pernah mereka lalui minggu lalu.
Bintang Atmaja yang semula duduk bersila di atas bangku jati besar segera menapakkan kaki ke lantai dan berdiri menyambut tiga orang tamunya dengan wajah berseri.
Ia menekan bel di pojok ruang, lalu kembali duduk.
Lelaki itu mengisahkan laku dan tutur dalam rentang tujuh hari seperti janjinya. Data dan jejak kolektor asing yang membawa keris Nirwa, dikumpulkan sambung-menyambung dari komunitas budaya dan kolektor benda pusaka. Jejaring Bintang di pemerintahan turut bergerak lebih cepat dari polisi yang menangani kasus Nirwa.
"Berkat bantuan dari banyak pihak, kerisnya sudah terlacak. Tapi, Dick Verver, kolektor Belanda itu, mau mengembalikan kerisnya dengan syarat uang yang sudah ia keluarkan diganti."
"Berapa, Pak?" Nirwa cemas, mengingat taksiran harga yang pernah disampaikan Bandoro.
"Sembilan puluh lima juta untuk dua kerisnya dengan tenggat dua hari dari sekarang karena ia harus segera pulang ke Belanda. Saat ini posisinya di Bali. Ini hasil negosiasi terbaik, tadinya Dick meminta lebih." Bintang menjelaskan.
Nirwa saling melempar pandang dengan Djata mendengar angka yang bisa digunakan untuk membeli tanah, bahkan rumah.
"Tidak adakah cara lain, Pak?" tanya Djata.
"Membawa benda pusaka bisa tertahan di bandara, tetapi kerisnya tetap harus ditebus 'kan? Yang saya khawatir, bila keris berpindah tangan pada oknum petugas, potensi hilang lagi lebih tinggi. Kita harus mencegah kemungkinan yang lebih buruk."
Nirwa jelas tak punya simpanan sebanyak itu. Jangankan untuk menebus keris, untuk kos sebulan saja ia masih harus berhitung. Saat seperti itu, Nirwa tak tahu harus bicara apa, ia bahkan lupa cara meluruskan pikiran.
"Masalahnya, uang itu besar. Kami butuh waktu untuk mengumpulkan uang sebanyak itu, Pak," ucap Djata mewakili Nirwa yang terjerat gelisah.
"Saya paham sekali. Masih ada waktu dua hari untuk mencari solusi dan memikirkannya dengan baik. Nah, kita nge-teh dulu biar ayem," ujar Bintang saat melihat karyawan galeri membawa nampan kayu besar berjalan mendekaat.
Teh dalam poci dan gelas tanah liat kembali tersaji. Kali ini, dilengkapi piring-piring berisi singkong dan kacang rebus.
Djata mengambil sebongkah gula batu dan memasukkan ke cangkirnya dan cangkir Nirwa. Nirwa mengambil cangkir dan menyesap teh wasgitel (wangi, sepet, legi, kentel) yang menghangatkan tenggorokkanya. Meski saling tatap, keduanya tak bicara, sibuk dengan kepala masing-masing. Nirwa dengan pikiran yang kusut sementara Djata memutar otak mencari jalan keluar.