Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #27

Garis Imajiner


Nirwa menggantungkan harap pada keajaiban setelah tuntas membaca salinan silsilah, keduanya tak berhasil menemukan nama Raden Mas Condroningrat.

Jagad kembali bertanya pada bapaknya agar bisa membantu Nirwa. Satu-satunya tempat yang disebutnya tepas darah dalem, kantor untuk mengklaim gelar ke-ningrat-an.

Pagi yang gerimis tak menghalangi Jagad untuk menghampiri Nirwa. Dan hujan menderas ketika ia sampai di tempat tujuan.

Nirwa telah rapi menyambut Jagad meski kemudian rencana perjalanannya tertunda, menunggu reda. Kopi krim panas menghangatkan tubuh di cuaca yang bisa membuat gigil.

"Paviliun sudah ditempati?" Jagad bertanya dengan suara rendah hampir berbisik.

"Iya, belum pindahan sih." Sejak subuh tadi, Nirwa merasa tak nyaman meski berada dalam kamar. Anak menantu pemilik kos baru saja tiba dan rumah mendadak riuh. Karenanya Nirwa bersyukur ketika Jagad tiba, sayangnya hujan masih menahan keduanya.

Jam sembilan pagi masih terasa jam enam karena mendung masih menggantung. Nirwa berpamitan, meninggalkan rumah Meski gerimis masih menetes.

"Mau pakai jas hujan?" tanya Jagad sebelum Nirwa duduk di boncengan.

Nirwa menolak, tubuhnya tak akan basah oleh gerimis. Ia juga mengenakan jaket waterproof hijau tua yang dibelikan Djata sebagai hadiah ulang tahunnya ketujuhbelas.

Nirwa dan Jagad tiba di kompleks Pracimosono menuju kantor kawedanan darah dalem keraton.

Mereka disambut seorang pria paruh baya, abdi dalem tepas yang duduk di belakang meja dengan tumpukan kertas di ujung kanannya.

"Mbaknya keturunan siapa? Dari Panembahan Senopati atau Sultan Hamengkubuwono. Sudah bawa syarat-syaratnya?" Ia menyodorkan selembar formulir untuk diisi.

"Apa saja syaratnya?" tanya Nirwa yang tidak menyiapkan apa pun kecuali KTP dan kartu mahasiswa yang selalu ada dalam dompetnya.

"Fotocopy kartu keluarga, KTP, daftar silsilah, dan serat kekancingan orang tua yang asli," jawab petugas sambil menunjukkan tulisan berupa syarat klaim gelar.

"Ini saksinya?" tanya abdi dalem yang tampak ragu melihat Jagad yang masih terlalu muda untuk jadi saksi.

"Bukan, Pak. Begini, saya hanya ingin mencari tahu tentang leluhur saya RM Condroningrat. Mungkin ada catatan tentang jejaknya."

Nirwa sedikit bercerita tentang Bapak yang sudah meninggal sehingga tidak ada lagi yang bisa ditanyai. Juga tentang salinan silsilah yang dipinjamkan Bintang Atmaja.

"Di sini hanya melayani pencatatan silsilah dan pengesahan gelar. Tapi, kalau melihat gelar Raden Mas, bila bukan cucu, pasti cicit. Karena gelar setelahnya hanya ada Raden. Dulu, memang serat kekancingan bisa diproses dengan pengakuan dan pencocokan nama, tapi sekarang tidak bisa. Syaratnya diperketat karena banyak yang hanya mengaku-aku trah keraton padahal tidak." Abdi dalem itu menjelaskan panjang.

Nirwa tak punya bukti apa pun karena hanya ingin meminta bantuan, tetapi sudah menjadi aturan, abdi dalem tepas dharah tidak melayani syarat yang kurang lengkap untuk menyamakan data serta mengeluarkan serat kekancingan.

Nirwa tidak menyangka ternyata banyak orang yang datang untuk mengklaim gelar. Menyadari banyak yang mengantre, ia pamit.

Nirwa menelan getirnya kecewa meski telah mengolah logika. Mungkin sudah saatnya menyerah mencari jejak dan menemukan kerabat dari garis darah yang sama. Nirwa tidak kalah, upaya tidak sia-sia. Banyak hal yang mengisi kekosongan sejak Bapak pergi, banyak pula orang lain yang kini menjadi keluarga baru baginya.

Meninggalkan kompleks Pracimosono, Nirwa terdorong untuk menghibur diri dengan menelusuri jejak para pemimpin Jogja, yang tetap ia yakini sebagai leluhurnya.

"Jagad tahu garis imajiner atau sumbu filosofis Jogja?" tanya Nirwa.

"Merapi, Keraton, dan Pantai selatan?" tebak Jagad karena itulah yang ia tahu selama ini.

"Bukan, itu sih bagian dari lima elemen pembentuk Sumbu Filosofis-nya. Ada api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari Bumi Ngayogyakarta, air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (langit). Yang aku maksud, sumbu filosofis yang dibuat Sultan Hamengku Buwono pertama, bagian dari arsitektur Jogja, Panggung Krapyak, Keraton, dan Tugu. Jagad tau tempatnya?"

"Kalau yang kamu maksud sama dengan tebakanku, ya aku tahu. Enggaka jauh kok!"

Keduanya menyusuri garis imajiner dimulai dari Panggung Krapyak. Melaju dari keraton, Jagad mengambil arah alun-alun selatan dan keluar dari Plengkung Gading.

"Nir, Sultan tidak akan melewati Plengkung Gading seumur hidupnya, loh!" seru Jagad tiba-tiba.

"Kenapa?" Nirwa penasaran.

"Pantangan. Sultan boleh lewat sini kalau sudah meninggal karena ini pintu untuk jenazah Sultan menuju makam para raja di Imogiri." Jagad menerangkan.

"Oh, iya, kayaknya kemarin aku baca. Plengkung Gading atau Plengkung Nirbaya artinya bebas dari bahaya duniawi, ternyata ini maksudnya. Jauh enggak makamnya?"

"Lumayan,"

"Lain kali kita ke sana ya?" pinta Nirwa.

Setiap ada ajakan jalan berdua, Jagad tentu saja mengiyakan dengan semringah.

Tak lama keduanya sampai di titik awal sumbu filosofis Panggung Krapyak. Jagad menghentikan motornya tetapi tidak beranjak dari duduk. Hanya Nirwa yang turun dari boncengan dan berjalan mendekati bangunan.

Lihat selengkapnya