Tubuh lelah Djata sepulang dari Jogja terasa melemah saat ia menyalakan komputer di meja kerjanya. Tampak judul-judul dokumen di layar monitor berubah menjadi simbol-simbol, bukan lagi huruf.
Djata bergegas memanggil teknisi kantor. Hanya dengan melihat layar, sang teknisi memastikan komputernya terserang virus.
"Bisa selesai hari ini enggak?" tanya Djata cemas.
"Belum tahu, Mas. Saya coba pakai antivirus dulu, kalau bisa paling satu sampai dua jam selesai."
"Kalau enggak bisa?" tanyanya.
"Ya mungkin harus ada yang diganti."
"File-nya gimana?"
"Enggak janji ya, Mas. Tapi saya coba pulihkan."
Djata memasukkan lengannya ke saku celana sembari memerhatikan teknisi bekerja. Ia teringat cadangan data pada sebuah disket dalam lacinya. Ditarik laci mejanya tapi disket yang dicarinya tak ada. Ia mencoba mengingatnya, nihil. Djata memaksa diri melangkah lunglai mendekati meja Tama di pojok ruang dan melaporkan masalahnya pada manajer keuangan yang menjadi atasannya itu.
"Kamu enggak back up?" tanya Tama.
"Sudah, Mas, masalahnya disketnya hilang padahal saya yakin menyimpannya di laci meja." Djata menjelaskan.
"Kamu bawa waktu meeting ke Jakarta? Mungkin tertinggal di sana?"
"Saya yakin sudah saya simpan kembali di laci meja."
"Ya sudah buat lagi saja, mau bagaimana lagi. Pakai komputer dekat printer sampai komputer yang rusak selesai diperbaiki," ucap Tama.
"Baik, Mas." Kesal dan cemas, Djata menghitung hari. Ini hari Selasa, ia tak yakin kapan pekerjaannya selesai. Djata terpaksa menunda untuk membeli tiket pulang dan menyarankan Nirwa untuk pulang lebih dulu saat ia menelepon malam harinya.
Siang hari berikutnya, berkas laporan sebelas bulan terakhir masih menggunung di atas meja kerja Djata yang berpindah ke komputer yang disediakan khusus untuk mencetak dokumen. Lelaki itu mengernyitkan dahinya memusatkan pandang dan pikir ke layar monitor. Sebagian tabel telah terisi angka, sebagian lainnya tampak kosong.
Djata berhenti sejenak menatap layar. Ia beralih pada berkas laporan bulanan kemudian memeriksa ulang tabel di layar agar tak ada kesalahan. Demi mengejar waktu, Djata melewatkan makan siang. Sudah sejak kemarin ia seperti itu.
Tubuhnya terasa kaku kala melangkah ketika hari gelap, menjadi orang terakhir yang meninggalkan kantor. Ia mampir ke warung kopi di seberang sebelum pulang ke mess. Sambil menyeruput kopi panas, Djata sesekali memijat bagian tengah dahi serta kedua pelipisnya. Matanya sungguh lelah.
Menyisakan ampas kopi dalam gelas yang masih hangat, Djata pulang dengan sebungkus nasi rames.
Kalau bisa, ia tak perlu pulang dan menghabiskan malam menyelesaikan semuanya. Tapi, esok pun belum tentu pekerjaannya tuntas. Ia memikirkan Nirwa, memikirkan ibu yang menunggu kepulangannya dengan penuh harap.
"Jadi berangkat kapan? Nirwa udah libur kan?" tanya ibunda Djata ketika ia baru selesai makan malam.
"Ibu nih, kangen aku apa Nirwa?" Djata merajuk layaknya balita.
"Ya, ibu kan maunya kalian pulang bareng. Udah dapet tiketnya?" Bu Wati bertanya lagi.
"Bu, kalau aku enggak bisa pulang, gimana? Ada masalah di kantor, jadi kerjaanku nambah. Kalau mepet pulangnya enggak yakin tiketnya masih ada atau enggak."
"Ya beli dari sekarang kan bisa," balas ibunya.
"Belum sempat, Bu."
"Ya sudah, terserah kalau kamu enggak kangen ibu." Bu Wati menutup telepon dengan kesal. Djata bisa merasakan kekecewaan sang ibu hingga membuat dadanya semakin terimpit.
Djata dipanggil Tama dari kamarnya setelah mengembalikan gagang telepon ke tempatnya. "Ta, ada yang lapor sama aku, si Adi pakai komputer di mejamu waktu kamu enggak masuk. Kamu enggak curiga dia punya maksud buruk?"
"Enggak, Mas. Bisa saja dia enggak sengaja pakai disket yang kena virus tapi enggak berani lapor kan? Jadi, anggap saja aku yang teledor." Djata enggan memperbesar masalah dan menambah rumit pikirannya.
"Serius enggak mau diusut?" tanya Tama lagi.
"Iya. Nanti pekerjaanku enggak kelar malah emosi pula." Djata menegaskan keputusannya.
Kafein dan pikiran tentang data yang hilang bekerja sama mengerakkan otaknya. Di atas tempat tidur, Djata membolak balik tubuhnya sambil memejamkan mata. Tapi, ia tak berhasil menjemput bunga tidur meski tubuhnya teramat lelah.
***
Pagi berikutnya langit Jogja tak berawan. Jagad menghampiri Nirwa meski tahu gadis itu akan pergi ke Semarang.
"Aku takut kamu langsung pulang ke Kalimantan. Nanti aku menyesal enggak bisa nganter kamu."
"Ya ampun, Jagad. Aku balik sini lagi, kok."
Kendaraan yang menjemput Nirwa tiba di depan rumah. Nirwa yang berbincang sambil menunggu di teras, segera menuju mobil. Jagad menarik tangan Nirwa dan menyelipkan sebatang coklat agar digenggam gadis itu. "Biar enggak mabuk," alasan Jagad.
"Makasih. Aku pergi ya," ucap Nirwa memasuki mobil.