Sebilah Silsilah

Mila Phewhe
Chapter #29

Udang Mahakam

Meski langka, masalah bisa terurai secara ajaib, memuluskan rencana-rencana yang sempat terhambat. Ada malaikat-malaikat berwujud manusia yang dikirim Tuhan membawakan harum surga, aman dan damai.

Djata lega karena akhirnya bisa membersamai Nirwa berangkat ke Jogja untuk kemudian pulang ke Samarinda, bertepatan dengan jatah libur dari kantor keesokan harinya. Beberapa staf tetap masuk dengan kerelaan demi mendapatkan uang lembur, tambahan bekal di hari libur saat yang lain kembali bekerja. Hampir semua yang tetap bekerja, menetap di Semarang atau tinggal kota sekitarnya, seperti Demak, Kendal, atau Magelang. Mereka tak punya agenda mudik meski jelang hari raya. Mess ditinggalkan para penghuninya. Mario dan Ezra ke Bandung, Mas Tama ke Malang, dan Juna ke Jakarta.

Dengan travel pagi, Nirwa dan Djata turun di Malioboro ketika matahari tepat di atas kepala. Langkah pertama yang diambil Djata adalah berburu tiket pesawat tercepat dengan tujuan Balikpapan.

Djata merelakan gajinya membeli tiket termahal demi bisa terbang ke Kalimantan esok pagi. Jumlah yang tak seberapa bila dapat menebus kekecewaan yang ia torehkan di hati sang ibu. Djata juga tak sabar menghabiskan waktu libur bersama Nirwa. Sudah tertata dalam rencananya untuk berkendara ke Kutai Kartanegara bersama Nirwa, Ibu, dan Bapak.

"Kita cari sesuatu buat oleh-oleh, yuk!" ajaknya pada Nirwa.

Dari agen tiket, Nirwa dan Djata menyusuri pasar Beringharjo, mencari dan memilih daster untuk ibunya. Kemudian mereka beranjak ke toko batik dan pernak-pernik ternama. Djata membeli sarimbit, pakaian pasangan untuk ibu dan bapaknya.

"Kita mau kembaran juga, Wa?" tanya Djata.

"Hahaha, enggak mau! Eh, tapi kalau kembaran kaos aku mau. Yuk, ah cari!"

Dua kaus putih bergambar becak dan tugu sepakat menjadi pilihan keduanya. Nirwa membeli hiasan dinding berupa kayu lukis bergambar delman dan jalanan Malioboro untuk Bu Wati dan untuknya sendiri. Ia ingin memajangnya di ruang tamu, bersama dua wayang kulit yang telah lebih dulu menjadi penguasa dinding ruang tamu.

"Eh, Djata belum pernah masuk keraton kan? kemarin aku melihat titik-titik sumbu filosofis. Aku juga baca semua sejarah para Sultan." Melihat gambar-gambar dalam lukisan, mengingatkan Nirwa pada hari terakhir bersama Jagad sebelum menemui Djata.

Nirwa mengungkapkan pemahamannya. Bahwa peninggalan para Sultan merupakan pesan tersirat tentang hidup yang harus bermakna, menjaga hubungan antar sesama, dan menyelaraskan diri dengan alam.

Hamemayu hayuning bawono, menjadi pegangan agar dirinya senantiasa mengingat jati diri manusia, tugas sebuah nyawa yang menghuni jasad. Dengan berlatih memusatkan pikiran dan rasa pada sekitar, manusia tidak akan disibukkan oleh keinginan atau dikendalikan nafsu.

"Lagi jalan-jalan tapi bahasannya berat amat," komentar Djata.

"Hehe, entah kenapa aku jadi suka membahas segala hal tentang Jogja. Mungkin karena aku lahir di sini, jadi aku merasa nyaman." Nirwa terkekeh.

"Aku juga suka Jogja, kok. Kota ini punya ciri khas dan nuansa yang sangat berbeda. Apa sebenarnya yang bikin beda, ya?"

"Semuanya, mungkin? Ah, aku jadi ingin tinggal di sini terus." Nirwa melontarkan harapan.

"Sama aku ya?" Djata tersenyum simpul.

"Ya terserah Djata kalau betah juga, haha ...." Nirwa tertawa lugu, tak mengerti ucapan Djata yang menjurus ke satu arah pasti.

Selesai makan siang di foodcourt sebuah mal, mereka membeli bakpia khas Jogja di Pathuk. Nirwa dan Djata menghentikan taksi yang melintas untuk mengantar mereka ke kost.

Lihat selengkapnya