Sebongkah Tanah Retak

Rida Fitria
Chapter #1

Sekapur Sirih

Adalah ironi bagi negeri kita yang subur, gemah ripah loh jinawi dan sebagian tanahnya memiliki kandungan baja mulia hingga emas permata terbaik namun rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan sehingga banyak dari mereka yang terpaksa menjadi buruh migran di luar negeri. Kebanyakan dari mereka adalah perempuan miskin yang menurut data International Labour Organisation (ILO) 80 % bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga (yang melakukan semua pekerjaan rumah tangga di rumah majikan dan bukan sekedar membantu; jika ia disebut pembantu). Dari profesi tersebut, buruh migran kita mampu menjadi salah satu penyumbang devisa terbesar untuk menggerakkan perekonomian di negeri ini. Sebagai contoh, pada tahun 2005 saja mereka sudah mampu menyumbang devisa sebesar US$ 2,5 milliar. Bahkan di di beberapa kabupaten di Jawa, jumlah remitance yang masuk dari buruh migran ini, bisa dua kali lebih besar dari nilai APBD setempat. Rasanya tak berlebihan jika Buruh Migran Indonesia ini kita juluki sebagai ”Pahlawan Devisa”.

Namun demikian, hal ini tidak sebanding lurus dengan perlindungan yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia kepada para buruh migran. Mereka kerap menerima perlakuan buruk dan keji dari majikan dan atau keluarganya, atau perlakuan yang tidak manusiawi dari Perusahaan Jasa Pengerah Tenaga Kerja atau dari oknum-oknum lain yang terkait dengan proses pengerahan buruh migran, baik sewaktu berangkat ke luar negeri maupun ketika pulang kembali ke Indonesia. Kisah tentang buruh migran yang tidak digaji oleh majikannya dan dibuang hingga terlantar, diperkosa oleh anak majikan sampai gila, disiksa oleh majikan perempuan sampai mati, diploroti harta bendanya oleh oknum aparat di terminal III Soekarno-Hatta saat hendak pulang ke kampung halaman, dan beribu-ribu kisah tragis lain yang sulit dicerna oleh akal sehat masih terus terjadi, namun nyaris tanpa pembelaan dan perlindungan dari pemerintah kita.

Ketidak pedulian pemerintah terhadap para Pahlawan Devisa tersebut tercermin dari produk kebijakannya yang lebih banyak mengatur regulasi pengerahan dan penempatannya saja dibanding tentang perlindungannya. Buruh Migran kita oleh pemerintah Republik Indonesia lebih dipandang sebagai komoditas penghasil devisa saja daripada sebagai manusia yang memiliki harkat dan martabat.

Pada tahun 2000, suami saya dan kawan-kawannya mendirikan Solidaritas Buruh Migran Indonesia di Jawa Timur, sebuah gerakan kerelawanan yang memfokuskan aktivitasnya pada pengorganisasian dan advokasi Buruh Migran. Rumah kami yang sederhana di sebuah kota kecamatan yang bernama Klakah itu, seketika beralih fungsi menjadi tempat para relawan berkumpul dan berdiskusi, juga menjadi tempat berlindung sementara bagi korban atau keluarga korban.

Di antara guliran banyak kejadian dan cerita menyedihkan yang ada di sekeliling kami, tak bisa begitu saja meninggalkan pikiran saya, dan sebaliknya hal itu malah melahirkan kegeraman-kegeraman yang harus saya tumpahkan dengan cara saya dan dengan sikap saya. Sejak itulah saya mulai menulis novel ”Sebongkah Tanah Retak” ini di sela-sela aktivitas saya mengurus rumah tangga dan anak-anak.

Lihat selengkapnya