Gunaryo tidak pernah menyangka suratan takdir hidupnya bakal seperti ini. Ia yang biasanya mengasong minuman botol di bilangan Senayan dan sekitarnya kini menjadi pelarian. Satu tahun berlalu dan nasib masih belum membawa pada jalan yang tenang. Dengan mata yang sayu, ia melihat jam dinding sekaligus kalender yang terpajang di gudang cabai tempatnya menggelar tikar pandan tipis dan kusam untuk tidur. Dua benda itu yang selalu matanya tuju saat bangun tidur. Pukul 02.28 dini hari, 11 Mei 1999. Masih terlalu pagi bagi kebanyak orang untuk beraktivitas, tapi bagi Gunaryo, inilah jam kerjanya.
Gunaryo bangkit dan meregangkan tubuhnya yang sudah terserang rematik. Untuk sesaat ia duduk di atas karung cabai. Melamun. Sekelebat masa lalunya selalu terbayang setiap ia baru membuka mata. Ia sadar hidupnya tidak pernah bahagia, tapi setidaknya dahulu ia memiliki rumah untuk pulang. Ia rindu Jakarta. Tempatnya dilahirkan dan menjalani parade tumbuh sebagai orang yang hidup di lingkungan kumuh di tengah pesatnya pembangunan ibu kota. Ia mewarisi kemiskinan dari ayahnya yang mati terseret banjir da saat usianya 10 tahun. Ditambah dengan didikan ibunya yang selalu mengingatkannya bahwa mereka orang susah dan mati lima tahun berselang karena demam berdarah. Hal yang akhirnya membuat Gunaryo tak pernah memiliki minat apalagi memiliki ambisi keluar dai jerat kemiskinan itu.
Ia putus sekolah kelas 3 SD saat ia sudah menekuni profesi sebagai pedagang asongan. Naik turun metromini menjajakan tahu, permen, air mineral atau rokok. Masa kecilnya begitu malang, tapi ia tidak menyadari kemalangannya. Ia hanya menjalani dan bertahan hidup untuknya dan keluarganya. Hingga ketika ibunya yang mana merupakan orang terkahir yang ia miliki mati, ia memilih untuk pergi karena tak mampu membayar sewa. Supangat, teman ayahnya dari kampung yang kebetulan juga tetangganya membawa ia pergi dari Timur Jakarta menuju Pusat Jakarta. Pindah dari kampung kumuh ke kampung kumuh lain. Di situ Gunaryo dititipkan pada seorang pengepul rongsokan, Saepul Bahrun. Jabat tangan antara Supangat dan Saepul Bahrun merupakan pertanda bahwa Saepul bersedia menampungnya. Tanpa pelukan atau kehangatan yang berarti, Supangat izin pamit kepada Gunaryo.
“Sing betah!” itu kalimat terakhir Supangat yang Gunaryo ingat. Dimana saat itu pula merupakan terkahir kali ia melihat pria seusia ayahnya itu.
Sejak saat itu Gunaryo menjadi pemulung bersama anak-anak yang memiliki kesamaan nasib dengannya. Hasilnya ia setor kepada Saepul Bahrun setiap sore. Mendapat upah 100 perak perhari, Gunaryo bersyukur. Ia tidak pernah banyak menuntut. Ia hanya ingin hidup. Sampai usianya kini beranjak 28 tahun pada 1998. Tahun dimana ia tidak pernah menyangka bakal menjadi pelarian karena ketidaksengajaan. Ia membunuh tentara saat kerusuhan pecah. Bukan sembarang tentara, tapi tentara itu merupakan anggota Tentara Elit Nasional dan diperparah bahwa tentara yang Gunaryo bunuh merupakan orang di lingkaran istana . Tentara elit itu ia pukul dengan botol kaca dagangannya. Kejadian itu berlangsung dengan cepat. Saat ia sadar, tentara itu sudah kejang dan mati tak lama kemudian. Untung saja seseorang langsung menariknya dari kerumunan dan membawanya lari saat Gunaryo belum bisa memahami apa yang baru saja ia lakukan. Orang itu adalah Tarman.
13 Mei 1998
Gunaryo tahu semua orang mengeluh karena harga melonjak naik setahun belakangan. Beberapa toko milik orang keturunan Cina tutup. Meskipun beberapa bikin Gunaryo mengerutkan dahi dimana di rolling door mereka tertulis, “Toko Punya Pribumi” padahal Gunaryo tahu pemiliknya adalah para keturunan Cina yang beberapa diantaranya pernah membeli minuman dingin yang Gunaryo jual. Hari itu situasi benar-benar panik. Banyak orang berlarian dari suatu titik, tapi Gunaryo malah mendorong gerobak dengan cooler box berisi minuman botol ke arah keramaian itu. Ia harus menjual habis dagangannya yang susah laku hampir tiga hari ini. Dalam pikiran sederhananya, kerusuhan membutuhkan energi besar, apalagi di terik panas seperti saat ini. Karena itu ia berasumsi minuman soda dan teh dingin dalam cooler box-nya akan banyak peminat. Ia sempat dihadang polisi, tapi ia berhasil melewatinya karena kepanikan yang terjadi membuat polisi tidak melulu fokus padanya. Ia terus mendorong gerobaknya sampai ia terhenti karena suatu pemandangan yang sangat anarkis. Itu penjarahan.
Ia melihat toko-toko dibobol paksa. Bom molotov meledak silih berganti di antara manusia-manusia beringas yang menguras isi toko elektronik. Gunaryo masih mencerna mengapa semua orang bisa seliar ini. Kenapa juga tidak ada polisi yang mengamankannya? Dalam kebingungan itu, ia melihat seseorang yang ia kenal. Itu Jamal, pedagang asongan sama sepertinya. Ia berhasil menggondol tape recorder.
“Mal!” teriakan Gunaryo menyatu dengan kekisruhan itu.
Jamal yang memang juga melihatnya, berlari menghampirinya. Ia sangat sumringah meskipun napasnya tersengga-senggal karena lelah.
“Gun, lo bantu gue ya! Itu ada kulkas dua pintu. Udah gue tandain! Bantuin gue gotong. Nanti kalau laku kejual, lo gue kasih bagian!” ujar Jamal dengan penuh gairah.
“Lo ngerampok, Mal?”
“Kalau ngerampok itu diem-diem, ini terang-terangan! Semua barang itu udah nggak ada yang punya! Makanya, ayo sikat!” bujuk Jamal.
“Wah, gila, lo! Kagak, Gue kagak mau! Gue mau dagang!” Gunaryo menolak tegas.
“Lo yang gila! Negara mau ambruk lo masih aja dagang!” Jamal mulai kesal dan segera berlalu dari hadapan Gunaryo. Nampaknya ia akan mencari bantuan lain untuk mengangkut kulkas tersebut.
Gunaryo hanya mengamati Jamal yang begitu semangat berlari. Dari sudut pandang manapun, ini merupakan penjarahan. Apalagi Gunaryo tahu betul pemilik toko-toko ini, orang-orang yang pernah membeli dagangannya saat ia lewat.
“Gun!” terdengar sapaan seorang wanita yang ia hafal betul. Itu Sriati, wanita yang sampai sekarang selalu ia cintai dalam diamnya. Sriati berlari kecil ke arahnya.
“Eh, Sri, ngapain di sini? Kamu nggak kerja?”
“Negara mau hancur, Gun! Kantorku tutup. Semua karyawan di PHK! Termasuk cleaning service kayak aku ini. Semua metro mini dibajak pendemo, jadi aku jalan kaki dari kantor.”