Udara dingin Lembang tak menyurutkan niat Maesa untuk terus berlari mengitari jalan setapak yang berujung ke rumahnya di atas bukit itu. Inilah rutinitasnya setiap pagi, berlari menanjak bukit dengan jarak hampir 5 km. Selepas itu ia akan melatih ototnya di gym pribadi yang ia bangun. Mengangkat beban, meninju samsak atau push up ratusan kali. Rasanya tidak ada yang sanggup melakukan itu secara rutin selain anggota TENAS.
Maesa seorang mantan TENAS. Pasca kerusuhan 98, hidupnya jatuh ke titik nadir. Skenario elit membuat kesatuannya tumbang. TENAS menjadi pesakitan karena tuduhan pelanggaran HAM berat saat kerusuhan terjadi. Elit mengatakan terjadi miskomando antara pusat dan prajurit di lapangan, tapi Maesa dan kawan-kawannya jelas menyatakan bahwa mereka tidak pernah mengambil tindakan kalau tidak ada komando dari pusat. Namun kesaksian mereka tak pernah berarti. Hierarki membungkam kejujuran.
Komandan TENAS diberhentikan dan diasingkan, begitupun Maesa dan kawan-kawannya di kesatuan. Kecewa dan sakit hati begitu mereka rasakan, terlebih mereka belum bisa menangkap pembunuh sahabat mereka, Hendrawan Jatmiko. Maesa menjadi orang yang paling terluka ketika Hendrawan meninggal. Ia tak berhenti menangisi kepergian teman seperjuangannya itu, bahkan hingga saat pemakaman militer. Hendrawan mati bersimbah darah di pangkuannya. Maesa juga satu-satunya orang di kerusuhan itu yang sempat melihat pembunuh Hendrawan sebelum menghilang di balik gas air mata.
Kesaksian Maesa membuat kasus kematian Hendrawan terus diusut. Bahkan kepolisian sempat menangkapi semua anggota Blackvolution, tapi sayangnya, tuduhan terhadap Blackvolution tak terbukti. Jelas, karena Gunaryo hanya pedagang minuman yang di hari naas itu kebetulan memakai pakaian serba hitam yang khas dengan Blackvolution. Karena itu sampai saat ini, Gunaryo masih saja buron. Namun tidak menutup kemungkinan saat Maesa melihatnya, Maesa akan langsung mengenali Gunaryo.
“Buk!” hantaman tinju Maesa melepaskan samsak dari kunciannya. Tampak sketsa wajah Gunaryo di samsak itu. Dendam itu begitu panas di pikiran Maesa. Menghabisi Gunaryo adalah satu-satunya cara untuk mendinginkan segenap api amarah dan dendamnya.
Maesa duduk di bangku kayu yang menghadap ke jendela. Ia menatap pada satu titik. Bukan pada cahaya yang bersusah payah menembus kabut, tapi pada sebuah cinderamata yang ia taruh di dalam sebuah kotak plakat berwarna hitam. Itu merupakan pecahan botol yang ia pungut di tempat kejadian Gunaryo memukul Hendrawan. Ia bersumpah akan merobek jantung Gunaryo dengan pecahan botol kaca itu suatu hari nanti.
Telepon berdering memecah suasana tenang. Maesa langsung mengangkatnya. Sebuah telepon dari kawan di angkatannya. Kawan yang juga sedang berburu Gunaryo.
“Sa! Gue dapat info keberadaan si bangsat itu!” suara Karno terdengar begitu geram.
“Dimana?”
“Metro, Lampung!”
“Pastikan polisi setempat nggak ada yang ikut campur!” perintah Maesa sebelum menutup teleponnya.
Ia bergegas mempersiapkan perlengkapan berburunya. Pistol FNP90 asal Belgia, pisau komando andalannya saat di TENAS dan tak lupa ia ambil sisa pecahan botol kaca untuk memenuhi sumpahnya. Maesa benar-benar siap menghabisi Gunaryo. Tak sia-sia ia terus berkoordinasi selama berbulan-bulan untuk menggambar sketsa wajah Gunaryo agar terlihat identik. Kini saatnya ia berburu.
*
Husen berlari menerabas kerumunan orang-orang pasar. Ia tak mempedulikan istrinya yang kewalahan menangani pembeli. Ia hanya ingin segera bertemu dengan Gunaryo. Telepon dari Jakarta membuat kepanikan dalam benaknya. Tarman menginformasikan bahwa jejak Gunaryo sudah terlacak.
Husen langsung mendobrak pintu gudang. Ia dapati Gunaryo yang juga sedang mondar mandir kepanikan. Gunaryo memiliki pengalaman kabur, tapi ia sama sekali tidak pernah terlatih menghadapai situasi buron dan diburu. Gunaryo menatap Husen yang juga panik.
“Gun! Kamu harus pergi dari sini!” perintah Husen.
“Kemana saya harus pergi Paman?”