Sebuah Hasrat Untuk Melupakan

Imam Darmawan
Chapter #1

"Relasi"

Ditemani sebuah notes kecil dan pena, kumulai menarikan jari jemari ku membentuk sebuah aksara yang memiliki makna. Perlahan sebongkah kata-kata mulai bermunculan dari balik dinding pikiran, memaksakan tanganku untuk segera menuangkannya ke dalam secarik kertas dihadapanku. Tanganku kewalahan menghadapi ide-ide yang terus mengalir dari dalam pikiran. bersamaan dengan sebuah imaji yang terus mengingat tentang masa lampau yang pernah kualami. Aku seperti dibuat masuk ke dalam mesin waktu, menjelajahi waktuku dimasa lalu, saat kenangan manis dan pahit bersatu. Perlahan ku tuliskan semua yang ter-bayangkan dipikiran. Ditemani imaji, aku dibuat terperangkap dalam khayalanku sendiri. 

Ide-ide kecilku menghantarkan jari-jemari menuliskan kehendak dari nalar ku. Persepsi menuntunku menuju satu titik, titik yang pernah memberikan makna berarti pada setiap detik. Titik itu mengarahkan ku pada seseorang yang tidak begitu asing di ingatanku. Kamu berdiri di terminasi halusinasi. Membuatku makin terlarut dalam halusinasi ku sendiri. Kamu tertawa terpingkal-pingkal melihatku kehilangan akal. Bagaimana tidak, waktu sudah berlalu sangat jauh, namun ingatan ini masih saja tertuju padamu, seolah begitu sulitnya menerima takdir yang telah terjadi. 

Izinkan aku untuk masuk kembali ke dalam kenangan kita, aku ingin menuliskan semua tentang aku dan kamu di dalam secarik kertas ini. Aku hanya ingin kenangan ini akan terus melekat dalam kehidupan, meski kelak aku akan menua dimakan usia, ingatan mulai keropos bersama dengan rambut putih yang mulai memenuhi kepala, mata akan sulit melihat tanpa bantuan kacamata. Namun tulisan ini masih bisa terbaca hanya untuk sekadar mengingat semua tentang kita. 

Kupejamkan mata ini, mulai mengingat semua yang dulu pernah kita lalui. Bagaimana awal pertemuan kita saat itu, bagaimana kita bisa dipertemukan, bagaimana kita dengan mudahnya untuk menerima satu sama lain hingga sulit untuk saling melupa. Tak terasa pikiran ini tertuju pada satu ingatan yang melekat dipikiran. Ku telusuri lebih dalam lagi bagaimana kita bisa dipertemukan. Dimana kita bertemu, bagaimana sikap kita saat itu, apakah dapat dengan mudah untuk saling menerima atau seperti sinetron yang awal tidak saling menyuka menjadi sama-sama suka? 

Teringat saat kita saling bertegur sapa untuk pertama kalinya disebuah cafe pusat kota Bandar Lampung, wajahmu tersenyum, bersamaan dengan munculnya lesung pipi yang membuat senyummu semakin manis. Kubalas senyummu dengan senyumku yang ala kadarnya. Perlahan langkah kakiku kudekatkan menuju meja dudukmu. Senyum itu semakin dekat melekat dengan mataku yang mulai berbinar. Aku meminta izin untuk duduk satu meja denganmu. Kamu pun mengizinkan dengan begitu mudah. 

Terdengar sebuah nama yang terucap dari mulutmu sembari mengulurkan tangan kepadaku. Keyla, itu nama yang terdengar. Nama yang begitu unik namun memiliki makna yang ciamik. Kuraih uluran tanganmu seraya memperkenalkan namaku, Angga, jawabku. Keheningan melanda pertemuan kami kala itu, tidak tahu apa yang harus terucap ketika pertemuan pertama itu datang. Hanya senyum yang menjadi alat komunikasi kami saat itu. Namun itu sudah lebih dari cukup bagiku.

Selang beberapa saat ketika keheningan terjadi, aku memberanikan diri memulai percakapan.

“sendirian saja??” tanyaku

“tadi sih sama kawan-kawan ku, tapi mereka sudah pergi”. Terangnya.

Tidak disangka pelayan cafe sudah berdiri disebelah kami menyodorkan daftar menu yang akan kami pesan. Lalu kami memutuskan memesan 2 gelas es capuccino. Tak lama berselang pesanan kami tiba. 2 gelas es capuccino yang nampak menggiurkan di tengah teriknya mentari siang. Kami menghabiskan minuman yang kami pesan sembari berceloteh sedikit tentang riwayat hidup kami, tentang pekerjaan, tempat tinggal, hingga status. Ditengah hangatnya perbincangan kami, tiba-tiba getaran handphone-ku membuyarkan semua fokus kami. Aku izin untuk mengangkat telepon sebentar. Terdengar kabar bahwa ayahku akan pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan dan aku harus mengantar ayahku ke terminal kota. Aku segera kembali ke meja cafe untuk memberitahukan kabar ini ke Keyla, ia pun mengangguk tanda setuju melepas ku hari ini. 

Maaf Keyla, pertemuan pertama kita hanya sebatas ini saja, tidak ada acara mengantarmu pulang ke rumah atau berkeliling kota menikmati udara segar di bawah terik sang surya. Mungkin itu akan kita lakukan di pertemuan selanjutnya, dan semoga sang pencipta berkehendak mempertemukan kita kembali. 

Lihat selengkapnya