Gue capek mikirin orang yang tak pernah kunjung datang..
-Agni Chalondra Daiva
***
Sudah sekitar 30 menit Daiva tampaknya tak bisa tidur terlelap, biasanya ia orang bisa dibilang cukup cepat tidurnya, tetapi untuk saat ini pikirannya masih melayang kepada sosok cowok yang diketemui di toko buku itu. Baru pertama kali juga ia memikirkan sosok cowok pada malam-malam seperti, terlalu aneh baginya jika halu tentang sosok pria yang diketemuinya. Mungkinkah, inikah cinta pandangan pertama?
Daiva duduk di tepi kasurnya dan menampar pipinya dengan pelan. Ia harus sadar tak boleh mencuri hatinya kecuali sosok temen kecilnya. Tapi entah kenapa saat ia melihat sekilas raut mukanya itu seperti mirip sekali, sungguh itu mirip tetapi malah diganggu oleh Tiara, lagi lagi Tiara mengganggu.
Suara hentakan kaki tampaknya mendekat kearah kamar Daiva. Ia pun cepat-cepat menarik selimut dan pura-pura tidur. Ternyata Mawar yang memasuki kamar Daiva, entah apa yang dilakukan mamanya tersebut Mawar seperti membawa sesuatu ke kamarnya.
"Mama tau kamu belum tidur nak" gumam Mawar. Detak jantung Daiva tak berhenti berdetak cepat, bagaimana Mawar tau kalau belum tidur? Apakah Mawar cenayang?
"Kenapa nak, kok belum tidur" bisik Mawar yang berada di samping Daiva. Ia pun memutuskan bangkit dari tidurnya dan mulai menatap Mawar.
"Kok mama tau aku belum tidur?" tanya Daiva. Mawar terkekeh dan mulai usap rambut milik Daiva.
"Mama lihat gerak-geriknya nak, emang kenapa kok belum tidur?" tanya balik Mawar. Ingin ia menceritakan apa yang terjadi di toko buku tadi, tapi ia tak ingin menceritakan ke siapapun kecuali Tiara. Ia takut kena omel sama Mawar, apalagi ini sudah malam.
"Capek nugas doang mah, ga nyangka aja bentar lagi aku kelas 12. Baru aja kemarin aku kelas 10 ini? udah mau naik kelas 12 dan mau masuk universitas. Sampai sekarang aku belum bisa mau masuk kemana, bingung mah mikirnya" hembus Daiva kasar. Mawar pun merangkul Daiva dan mengusap air mata yang mengalir.
"Mama juga ga nyangka kamu udah besar Ndra, waktu memang cepat berlalu ya? Untuk masuk universitas atau jurusan kamu bisa nanya mama atau papa. Kita bakal selalu ada untuk kamu Ndra, always in your heart sweetheart. Selalu dan forever" jelas Mawar. Daiva merasa tenang sama Mawar yang sangat perhatian, menjadi anak tunggal memang tak mudah. Dari dulu ia ingin mempunyai adik kecil atau kakak tetapi saat umur 6 tahun Mawar keguguran saat mengandung adik kecilnya. Sejak dari situ orang tuanya selalu memberikan kasih sayang cukup padanya.
Daiva terharu mendengar omongan Mawar, sungguh ia bersyukur mempunyai orang tua yang selalu ada untuk dirinya. "Makasih ma, aku bakal pertimbangin masuk apa dan jurusan apa. Sekali thank you mom, you are the best" lirih Daiva. Mawar pun mengambil selimut Daiva dan biarkan anaknya tidur terlelap di kasur kesayangannya itu.
Mawar pun keluar dari kamarnya tak lupa ia mencium pipi anaknya. Mawar tersenyum kearah Daiva yang tertidur pulas. Ia pun menutup pintu perlahan-lahan agar tidak terganggu oleh Daiva. Hadden melihat raut muka Mawar yang tampaknya sangat sedih.
"Kenapa mah?" tanya Hadden. Mawar pun melihat Hadden dengan senyuman simpul, ia masih tak nyangka anak semata wayangnya sudah sebesar ini. Hadden berjalan mendekat kearah istrinya yang seperti kesedihan karena sesuatu. "Ada apa mah?" tanya lagi Hadden untuk kedua kalinya.
"Daiva udah besar pah, ga nyangka aja ya?" desak Mawar. Hadden terdiam sebentar dengan perkataan Mawar, benar sekali katanya sebentar lagi sudah umurnya sudah 17 tahun. Waktu memang cepat berlalu, tak ada yang bisa menyangka itu.
Hadden terkekeh. "Iya bener mah, papa juga ga nyangka kalau kita udah semakin menua. Dan Londra sudah beranjak remaja aja ya?" lirih Hadden. Ia juga merasa bersedih sebab anaknya sudah beranjak remaja saja, terlalu singkat waktu untuk saat ini.