Mungkin ia tak sejahat kukira, dan ternyata semua orang berhak mendapatkan kesempatan kedua kalinya. Tapi jika kesempatan itu sia-sia, aku akan meninggalkan kalian.
-Jyoti
***
Tok.. Tok!
Suara ketukan terdengar dari pintu kamar Jyoti, ia pun langsung meletakan bukunya ke tempat semula.
"Masuk" Balas Jyoti singkat.
Bi Kiya atau pembantu rumah tangganya pun masuk ke dalam kamar untuk memberi tahu sesuatu.
"Non, di panggil nyonya untuk kebawah. Ada sesuatu yang mau di bicarakannya" Ujar Bi Kiya.
"Baik, kalo begitu saya permisi" Jawabnya datar.
Jyoti pun bangkit dari duduknya dan beranjak ke ruang tamu, apalagi yang ia ingin bicarakan malam ini. Apalagi ini sudah sekitar jam 9 malam, heran sekali kenapa Moza memanggilnya selarut ini.
Selama ia menuruni anak tangga, daritadi pikirannya menghantui banyak pertanyaan dari Moza. Tapi ia tetap hati-hati melewati anak tangga, ya jatuh gitu kan gak lucu sama sekali.
Keadaan ruang tamu malam ini terlihat sangat sepi sekali, hanya terdengar suara jam dinding yang sangat nyaring. Selebihnya lagi tak ada lagi.
"Sini Jyo," Perintah Moza sembari menepuk sofa.
Jyoti pun menurutinya perintah Moza untuk duduk berhadapan dengan nya. Vikal malam ini tampaknya tak akan pulang ke rumah, apalagi ini sudah larut malam. Pastinya ia akan kerja lembur.
Dari dulu Vikal memang tak berubah, ia selalu bekerja terusan, hingga lupa bahwa ada sosok keluarga yang selalu menunggu nya di rumah. Ah entahlah apa yang di pikirkan oleh bapak tua itu.
"Kenapa?" Tanya Jyoti untuk membuka suara di ruang tamu ini.
"Maaf," Jawab Moza sambil memegang tangannya.
Jyoti terdiam saat mendengar kata 'maaf' dari Moza, tunggu apakah ini mimpi? Ia pun mencubit pahanya, sialnya paha nya menjadi sakit berarti ini bukan mimpi, saat ini adalah nyata.
"Untuk apa?" Tanya Jyoti. Ia menanyakan sekali lagi untuk memastikan Moza bahwa tak berbohong kepada dirinya.
"Mama capek dengerin perintah papa yang gak masuk akal, kamu tau papa, dia seolah-olah raja di rumah ini. Sampe kamu ga di perhatikan sama dia, " Lanjut Moza.
Jyoti saat ini merasa kebingungan, ini bukan mimpi ini nyata. Tapi apakah ini permainan licik dari Vikal dan Moza untuk menjebak dirinya? Tapi ia merasa itu bukan, semua omongan dari Moza terdengar tulus.
"Kenapa?, Kenapa mama minta maaf ke aku?" Jawabnya yang menahan air matanya.
"Setiap mama suruh kamu di posisi satu, selalu nilai bagus, harus 'perfect'. Mama merasa bersalah Jyoti sama kamu, mama gak butuh itu semua, mama ingin sesekali melihat kamu tersenyum tulus, nyatanya mama sering melihat senyum palsumu daripada senyum tulus itu,"
"Mama juga capek, Vikal gapernah perhatian sama kita, bukan kita doang kamu juga Jyo." Balas Moza dengan berpindah tempat duduk ke sampingnya.
Jyoti diam seribu bahasa, ia terharu mendengarkan penjelasan dari Moza ternyata ada yang masih memahami dirinya selain Angela, ternyata semua orang berhak mendapatkan kesempatan keduanya.
"Jyo, mama mau cerai sama Vikal. Kamu mau ikut kita nak?"
"Tapi, kenapa?, kok semua kek dadakan banget?"
Moza mengelus dada milik Jyoti dengan pelan-pelan, ia tersenyum tipis melihat pundak Jyoti tampaknya ia sangat lelah dengan dunia.
"Semua gak mendadak nak, mama udah mikirin ini matang-matang. Mama ingin kamu bahagia, mama gak mau ngeliat kamu tertekan," Ujar Moza dengan pelan.
"Mama gak bohong kan?"
Jyoti pun mendongakkan kepalanya, ia melihat senyuman Moza yang sangat berbeda dengan biasanya. Entah apa itu, ia merasakan seperti bahwa Moza adalah Angela, ia tau Moza bukan mama kandungnya tapi, ia sangat melihat ketulusan dalam dirinya.
Sebuah ketulusan untuk dirinya dan adik angkatnya, jika mereka bercerai ini akan menjadi awal dari hidupnya, hidup yang tanpa derita lagi.
"Mama tau kamu bingung, kalau kamu gamau sama mama, mama akan khawatir dengan keadaanmu, mama gabisa nemenin kamu lagi Jyo, mama ingin kamu aman sama Raka itu aja. Gabakal lebih, you're my happiness not him,"
Jyoti tanpa pikir lama lagi ia ingin bersama Moza tak ingin dengan Vikal, ia harap inilah adalah kebahagiaan bermulai.
"Aku bakal ikut ma, aku mau ikut mama sama Raka. Aku gamau sama papa, capek aku di sakitin sama dia"