Sebuah Pengabdian

Anggrek Handayani
Chapter #1

Sang Bintang Harapan #1

Di depan gerbang sebuah sekolah menengah, terlihat beberapa siswa yang nampak sangat gembira. Sambil memegang selembar kertas di tangan kanannya, mereka berteriak kegirangan. Bak telah terlepas dari sebuah bencana yang melanda mereka dan menentukan nasib mereka. Kini mereka hanya tinggal memetik buah dari kerja keras mereka selama ini. Hati mereka telah siap untuk terus belajar di jenjang yang lebih tinggi.

Keempat siswa tersebut bersiap untuk kembali ke rumah mereka masing-masing. Namun mereka nampak tak terburu-buru. Mereka menepuk tangan satu sama lain untuk merayakan hari kelulusan mereka itu.

“Setelah ini kamu akan melanjutkan pendidikanmu dimana?” tanya Aji pada teman di sampingnya.

“Aku ingin kuliah di bidang bisnis agar aku dapat menggantikan ayahku untuk mengurus perusahaan." Marcell menolehkan wajahnya pada Hamid kemudian melanjutkan perkataannya, "Hamid pasti juga sama sepertiku. Dia kan anak tunggal. Siapa lagi yang akan menggantikan ayahnya mengurus perusahaan selain dia? Iya kan Hamid?”

“Oh tidak, tidak. Aku tidak begitu tertarik dengan dunia bisnis. Aku lebih suka menjadi tentara saja,” sela Hamid sambil menggoyang-goyangkan kedua telapak tangannya.

“Apa? Tentara?" Marcell melanjutkan perkataannya, "Kenapa begitu? Lalu bagaimana dengan perusahaan ayahmu? Siapa yang akan mengurusnya?”

“Iya Hamid. Ayahmu kan sudah tua. Ayahmu pasti membutuhkan seseorang untuk menggantikannya mengurus perusahaan dengan segera. Lagipula kamu kan anak satu-satunya,” lanjut Aji.

“Iya Hamid. Sebaiknya kau melanjutkan kuliah di bidang bisnis saja bersama denganku. Lupakan saja impianmu untuk menjadi seorang prajurit demi membahagiakan orang tuamu,” sambung Marcell.

Hamid terdiam mendengar ucapan dari teman-temannya. Ia merasa bimbang tentang mana yang harus ia pilih. Apakah harus mengikuti keinginannya untuk menjadi tentara atau berbakti pada kedua orang tuanya dengan menempuh pendidikan di bidang bisnis?

Rafiq yang berada di samping kiri Hamid dan hanya diam sejak awal mulai angkat bicara, “Eh sudah hentikan! Jangan diperpanjang lagi masalahnya! Biarkan Hamid memilih jalannya sendiri! Nanti juga ada cara lain untuk mengurus perusahaan ayahnya. Lebih baik sekarang kita pulang saja. Kita beritahu kabar bahagia ini pada kedua orang tua kita. Mereka pasti akan merasa bahagia dan bangga pada kita.”

“Iya. Ayo Hamid kita pulang saja! Tidak usah difikirkan lagi masalahmu itu! Nanti juga ada jalan keluarnya. Tapi, nanti kalau kau memilih untuk melanjutkan kuliah di bidang bisnis, kau katakan saja padaku! Nanti kita berangkat mendaftar bersama,” sahut Marcell.

Keempat pemuda itu bersiap untuk pulang. Namun sebelum itu,mereka menolehkan wajah ke belakang. Melihat kembali sekolah mereka yang akan mereka tinggalkan itu. Mereka pun mengucapkan selamat tinggal bersama-sama. Kemudian mereka melambaikan tangan mereka ke arah gerbang. Mereka terus melambaikan tangan sambil menatap sekolah yang menjadi tempatereka menimpa diri itu. Rasa bahagia juga sedih bercampur menyatu dalam hati mereka. Mereka memang senang karena telah lulus dari sekolah menengah mereka. Namun di balik itu mereka juga sedih bila harus meninggalkan sebuah sekolah yang selama tiga tahun setia menemani mereka dalam belajar. Sekolah yang selama tiga tahun telah menyimpan kenangan indah di antara mereka, teman-teman, juga antara mereka dengan sang guru.

Setelah merasa cukup lama menatap gerbang sekolah, dengan perlahan, membalikkan tubuh mereka. Mereka kembali menghiasi wajah mereka dengan senyuman. Halim dan Rafiq yang sempat meneteskan air mata segera menghapusnya dan kembali tersenyum. Kemudian menyalakan motor bersama-sama. Karena arah rumah mereka sama, Marcell mengajak ketiga temannya itu untuk berlomba balap motor. Akan tetapi, sebenarnya ia hanya ingin menantang Hamid yang baru saja menggunakan sepeda motor barunya untuk pergi ke sekolah.

Hamid yang sudah dapat menebak niat Marcell, langsung menjalankan sepeda motornya dengan sangat kencang. Melihat Hamid yang bersemangat dengan sepeda motornya yang merah menyala itu, ketiga temannya yang masih berada di belakangnya tertawa bersama-sama. Kemudian mereka pun mengikutinya.

Lihat selengkapnya