Pagi hari yang cerah. Matahari bersinar terang. Seolah merestui apa yang akan dilakukan oleh Hamid dan keluarganya. Menyertai mereka yang sedang dalam perjalanan untuk pergi melamar seorang gadis yang akan dinikahkan dengan Hamid. Wajah kedua orang tua Hamid yang berseri-seri menampakkan kebahagiaan pada diri mereka. Namun Hamid tidak seperti itu. Ia malah nampak muram di hari yang seharusnya menjadi hari kebahagiaannya.
Perjalanan panjang nan melelahkan itu akhirnya telah mencapai tujuannya. Hamid dan keluarganya telah tiba di sebuah gerbang sebuah pondok pesantren. Betapa terkejutnya Hamid setelah mengetahui tempat tujuan kedua orang tuanya itu. Matanya menoleh ke atas dan nampak tulisan “Pondok Pesantren Al-Fatah”. Ia belum mengerti sama sekali mengapa kedua orang tuanya malah membawanya ke pesantren tersebut. Begitu terkejutnya ia hingga hilanglah kesedihan dalam dirinya. Sebuah senyuman pun mulai menghiasi wajahnya.
Yasir segera mengajak Mona dan Hamid untuk memasuki pondok pesantren tersebut. Tanpa merasa ragu lagi, Yasir dan Mona mulai melangkahkan kakinya untuk memasuki pondok pesantren itu. Namun Hamid masih canggung untuk memasukinya. Mengetahui bahwa Hamid masih terdiam di tempat, Mona langsung meraih tangannya dan mengajaknya masuk.
Kedatangan Yasir dan keluarganya di sambut dengan sangat hangat oleh sang pemilik pondok pesantren. Segara ia menyuruh sang istri untuk menjamu tamunya itu. Bahkan Yasir dipeluk dengan sangat erat olehnya.Setelah itu,mereka pun dipersilahkan duduk oleh pemilik pesantren itu.
Setelah mempersilahkan para tamunya untuk duduk, Rahman pun berkata, ”Yasir, kamu kemari setelah sekian lama. Kamu pasti memiliki tujuan tertentu hingga kau bersedia jauh-jauh datang kemari sambil membawa keluargamu juga. Biasanya kamu hanya datang seorang diri. Sebenarnya apa tujuan kedatanganmu kemari?”
Dengan sedikit ragu Yasir menjawab, ”Sebenarnya maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar putrimu, Zahra untuk Hamid.”
“Apa? Melamar Zahra untuk Hamid? ”jawab Rahman terkejut.
Rahman mengalihkan pandangannya pada Hamid sejenak kemudian berkata, ”Subhanallah.... Dia semakin tampan sekarang. Tapi bukankah usia Hamid dan Zahra itu terpaut jauh?”
“Itu benar pak. Lagipula Zahra juga masih terlalu muda untuk menikah,” sambung Salamah yang baru datang dan meletakkan minuman di atas meja.
Yasir dan Mona terdiam sejenak. Kemudian Yasir menjawab, ”Iya, aku tahu itu. Hamid juga masih terlalu muda untuk menikah. Tapi apa daya kami? Sebenarnya kami juga tidak mau kalau mereka menikah terlalu muda. Tapi, kalian tahu sendiri kan kalau usia kami ini sudah semakin tua. Dan kami ingin segera menimang cucu sebelum kami tutup usia. Jadi kami terpaksa melakukannya. Tolonglah! Kau sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Anggap saja ini sebagai balasan atas rasa terima kasihku kepada kalian karena kalian yang telah membantuku untuk dapat memiliki keturunan delapan belas tahun yang lalu. Aku ingin Zahra menjadi bagian dari keluarga kami yang sesungguhnya.
Rahman terdiam sejenak. Memikirkan setiap perkataan Yasir. Bagaimanapun juga ia tak akan membiarkan sahabatnya itu dalam keadaan sulit sementara ia tak berusaha untuk membantunya sedikitpun. Salamah memandang wajah suaminya dengan penuh harap. Berharap agar suaminya dapat memberi keputusan yang terbaik untuk putri tunggalnya itu.