Pertanyaan Hamid membuat Zahra tak berdaya untuk menjawabnya. Ia harus berfikir terlebih dahulu sebelum menjawabnya. Ia tak ingin gegabah dalam menajwab pertanyaan yang sederhana namun sangat bermakna itu. Memang benar usianya lebih tua dari Hamid. Tapi kini ia telah menjadi istri dari seorang pemuda yang tengah duduk di depannya tersebut. Maka ia yang seharusnya memiliki kewajiban untuk menghormati Hamid dengan panggilan yang pantas. Bukan hanya sekedar menyebut namanya.
Melihat Zahra yang tak segera menjawab pertanyaan darinya , Hamid melanjutkan perkataannya, “Memang benar kalau kamu adalah istriku. Tapi....”
”Iya, boleh.” jawab Zahra sambil tersenyum.
“Boleh? Benarkah itu? Kalau begitu, terima kasih banyak kak,” ucap Hamid sambil tersenyum lebar.
Setelah mendapatkan izin dari Zahra untuk memanggilnya dengan sebutan kakak, Hamid mempersilahkan sang istri untuk tidur di sampingnya. Zahra hanya tersenyum tipis lalu melangkah dengan perlahan dan menempatkan dirinya untuk tidur di samping Hamid.
Hamid mencoba untuk membesarkan hatinya agar dapat bersikap ikhlas membagi tempat tidurnya dengan Zahra. Ia harus sadar pada kenyataan hidup bahwa sekarang Zahra adalh istrinya. Dan yang sederhana tersebut memang harus dilakukkannya. Walau jantungnya berdetak begitu kencang saat berada di dekat seorang wanita yang baru saja menjadi istrinya, tapi ia berusaha untuk mendekatkan hatinya pada sang istri. Agar ia tak menganggap wanita yang berada di sampingnya itu sebagai orang asing lagi.
Dengan perlahan, Zahra membaringkan tubuhnya di samping Hamid. Hamid menolehkan wajahnya pada Zahra sejenak kemudian memalingkannya kembali setelah mengetahui bahwa sang istri telah memejamkan kedua matanya. Setelah pesta pernikahan Hamid dan Zahra selesai, semua anggota keluarga terlelap dalam tidur mereka. Namun sangat berbeda dengan Zahra dan Hamid sendiri. Mereka bahkan tidak bisa memejamkan mata walau hanya satu detik.
Kehidupan yang baru telah ia masuki. Masalah dan setiap kesulitan dalam hidup telah menantinya. Hal itulah terus terbayang dalam benak Zahra. Kecemasan terus menghantuinya hingga ia sulit untuk tidur walau tubuh terasa lelah. Sementara itu, Hamid yang sudah terbiasa tidur seorang diri juga tak dapat tertidur dengan mudah seperti hari biasa.
Hamid dan Zahra berusaha untuk memejamkan kedua mata mereka. Walau berulang kali terbuka karena belum merasa mengantuk sedikitpun. Setelah berusaha keras untuk memejamkan matanya, akhirnya keduanya dapat tertidur pulas.
Belum puas untuk beristirahat, adzan subuh terdengar di telinga Hamid. Dengan sedikit terpaksa, Hamid bangun dari tidurnya. Hamid tak sengaja menolehkan kepalanya pada Zahra yang masih terbujur di tempat tidurnya. Melihat Zahra yang masih tertidur lelap, Hamid menyentuh tangan Zahra dengan lembut. Hingga Zahra pun terbangun.
“Apa ini sudah pagi?” ucap Zahra dengan mata ynag masih sayup.