Adam dan Magenta banyak mengalami hal-hal seru bersama. Di hari kedua MPLS, Magenta menunjukkan sisi aslinya. Salah senior itu sendiri, sih. Sudah tahu Adam itu lagi batuk, senior itu justru mendekatkan diri dan membuat Adam batuk tepat di depan wajahnya. Senior itu malah marah-marah dan menyuruh Adam untuk push-up padahal Adam lagi sakit. Magenta tak bisa menahan diri melihat itu. Ia langsung menendang meja dan menjambak rambut senior yang menghukum Adam dan langsung berlari keluar kelas bersama Adam.
Besoknya, mereka benar-benar terkenal karena dipajang di seluruh hadapan peserta MPLS yang lainnya, di hadapan seluruh senior juga. Dan saat ceramah, Magenta lagi-lagi berulah. Mulut perempuan itu yang berulah, tak bisa ditahan dan mengeluarkan sederet kata-kata kutukan dan sumpah serapah seperti air terjun, tak henti-hentinya hingga mereka kian terkenal.
Senior banyak yang membencinya. Namun, Magenta terkenal di kalangan angkatannya sebagai pahlawan. Padahal, pada kenyataannya, Magenta terlihat seperti tumbal untuk para senior. Setiap ada kesalahan, pasti Magenta di bawa-bawa karena perempuan itu sudah dicap sebagai biang masalah sejak mengatai senior dengan kata tai.
Magenta tak menyangka kehidupan SMA-nya akan menjadi seburuk ini. Kak Ardi bahkan selalu mengatainya dengan buruk karena informasi soal Magenta yang memberontak telah tersebar luas. Beruntung tidak sampai terdengar di telinga Ayahnya yang ada di Jakarta.
Tak hanya di sana, kesialan Magenta harus berlanjut saat dia tak sengaja menjatuhkan pel-an yang masih basah hingga mengenai Ketua OSIS yang sedang berjalan di bawah. Bajunya kotor dan basah. Magenta bukan hanya dibenci kalangan senior, seluruh anggota OSIS juga memberikan mata bermusuhan tiap kali bersinggungan dengannya.
Belum genap satu semester, Magenta sudah punya banyak musuh akibat kecerobohannya. Bentuk kebencian dan kemarahan selalu Magenta dapatkan setiap hari. Sudah seperti makanan sehari-harinya saja selama sekolah di sini.
Namun, Adam yang selalu ada di sisinya membuat Magenta senang. Tak apa-apa jika seisi dunia memusuhinya, Magenta hanya butuh satu teman yang selalu ada di sisinya, menemaninya kala suka maupun duka.
Itu cukup bagi Magenta.
Seperti takdir, mereka juga ditempatkan dalam satu kelas yang sama. Bersama-sama menghadapi hambatan-hambatan dan tantangan-tantangan persahabatan, keduanya masih awet berteman sampai naik ke kelas tiga. Kelas akhir. Magenta benar-benar jadi senior teratas dan tidak ada lagi yang berani mengusiknya seperti dua tahun suram sebelumnya.
Di mana dia selalu mendapat kata-kata cacian setiap kali berpapasan dengan senior atau anggota OSIS, selalu disindir tiap kali ada masalah menyangkut perilaku buruk dan selalu ditolak jika ia ingin bergabung dengan sebuah organisasi tertentu di mana ada seniornya.
Namun, hal itu benar-benar membuat Magenta kebal. Magenta jadi tak peduli lagi dengan semuanya dan ia hidup semaunya sekarang. Buat apa memperbaiki diri kalau Magenta sudah biasa hidup tanpa aturan alias melanggar aturan? Magenta senang begini.
Biarlah dia disebut biang masalah, tukang pembuat masalah, lulusan pesantren kok bar-bar begini dan sebutan-sebutan tak enak didengar lainnya. Magenta sudah kenyang dan kebal dengan semuanya.
Apalagi kini ia sudah kelas dua belas. Ia berdiri di puncak piramida kehidupan, tak akan ada yang mengganggunya lagi.
Magenta berharap, tahun ini berjalan sesuai keinginannya. Sesuai harapannya; bahagia bersama Adam tanpa ada masalah lagi.
***