Sampailah mereka di atap. Azam terpukau dengan pemandangan sore yang indah. Dia melihat punggung Magenta dan rambutnya yang berkobar-kobar karena angin sore dengan mata terpaku, kagum. Apalagi saat perempuan itu berbalik dan menampilkan senyumannya.
Adegan itu seperti diperlambat. Seperti dalam film-film.
"Hei, kacung!" seru Magenta, menyadarkan Azam dari lamunannya. "Ya ampun, dari tadi gue minta tasnya siniin nggak didenger-denger."
Magenta langsung mengambil tas Adam dari tangan Azam. "Makasih, ya. Lo boleh pulang. Hati-hati. Dah."
Azam melenyapkan senyumannya. Kini, ia hanya bisa melihat punggung Magenta yang semakin menjauh ke sana. Menghampiri seseorang. Seseorang yang tampak tak asing bagi mata Azam.
Tidak mungkin. Tidak mungkin ia Adam yang itu. Nama dan wajah bisa serupa untuk beberapa kasus kebetulan, kan?
Ya, anggap saja begitu agak Azam bisa tenang pulang sekarang.
Sementara itu, Magenta melebarkan senyumnya saat melihat Adam. Is menyodorkan kuenya pada Adam dengan penuh hati. "Dam, nyalain lilinnya."
Mata Adam berbinar-binar saat melihat kue yang dibawa Magenta. "Ini berapaan? Lo habis berapa buat ulang tahun gue?"
"Ini patungan kelas, Dan. Lo tenang aja. Gue nggak abis sepuluh ribu, kok," balas Magenta ringan. "Cepet nyalain lilinnya. Gue pegel, nih."
"Ck," decak Adam gemas. Kemudian ia mengambil alih kue dari tangan Magenta dan meletakkannya di bawah. Adam duduk bersila pada detik berikutnya. Magenta melihat itu dan tersenyum bodoh, kemudian mengikuti cara Adam dengan kue terletak di antara keduanya. Adam tersenyum menatap Magenta. "Gini kan enak."
"Iya." Magenta tertawa kecil.
Adam kemudian menyalakan lilin kuenya. Setelah menyala, Magenta segera menyanyi. Suaranya tak begitu merdu, tapi Adam tersentuh mendengarnya.
"Tiup lilinnya, Dam!"
"Iya. Sabar." Adam tertawa kecil, kemudian menuju api di lilinnya hingga padam.
Magenta segera bertepuk tangan. "Sekarang, berdo'a."
"Oke." Adam segera menutup kedua matanya dan menengadahkan tangannya. Dia berdo'a dengan khidmat dan tanpa Adam ketahui, selama ia berdo'a, Magenta memerhatikan dengan sebuah senyum penuh arti. Beberapa saat setelahnya, Adam menyapukan kedua telapak tangannya ke wajahnya. "Aamiin."
Saat Adam membuka matanya kembali, Magenta buru-buru melihat kue. Dia kaget dan takut ketahuan sedang menahan Adam barusan. "Kita potong aja sekarang, Dam?"
"Ada alatnya?" tanya Adam heran. "Kok gue nggak liat."
Magenta langsung mencari-cari. Di sisi kue, di bawah gue, di tasnya, di tas Adam, di bawah tempat duduknya, dan terakhir ...." "Dam, berdiri dulu."
"Mager, Ta." Adam terdengar merengek.
"Berdiri dulu, siapa tau ada di bawah lo, ke dudukkin," kata Magenta seraya menarik Adam buat berdiri.
"Ck, dibilangin gue mager," balas Adam agak kesal, namun akhirnya berdiri juga. Dan tak ada apapun di tempat bekas duduk Adam. "Tuh, kan, nggak ada! Mustahil banget ada, soalnya kue ini emang nggak ada alat buat potongnya!"
"Kok lo baru ngasih tau?" tanya Magenta kecewa. "Terus ini dimakannya gimana?"
"Dicomot-comot aja udah," balas Adam tak mau berpikir lebih lama, ia duduk kembali dan menghadap kue ulang tahunnya. Tangannya langsung bergerak ke arah kue, namun tangan Magenta lebih dulu menepisnya.
Magenta melotot saat Adam menatap ke arahnya. "Lo kita ini nasi uduk dimakan pake tangan?"