Magenta ingin punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya pada Adam, namun fakta tentang laki-laki itu yang memegang prinsip tak mau pacaran sebelum menikah membuat kedua bahu Magenta lemas. Tak punya energi lagi untuk semangat. Belum lagi ia diberi fakta bahwa Adam ingin Magenta terus menjadi temannya untuk selamanya, bahkan dijadikan sebuah do'a.
Kalau terkabul bagaimana? Bagaimana nasib hati Magenta? Sungguh mengenaskan.
"Bubu?" Aunty Jasmine bertanya heran saat Magenta masuk ke rumah dengan wajah kusut. Aunty Jasmine yang sedang membaca majalah di sofa ruang tamu itu langsung menghampiri Magenta dan memegang kedua bahunya dengan wajah penuh khawatir. "Kenapa, nih? Di sekolah ada yang jahatin? Kok mukanya bete banget gitu?"
Magenta cemberut. "Bubu udah kelas dua belas, Aunty. Mana ada yang berani jahatin. Bubu cuma capek aja. Aunty jangan khawatir."
"Ya udah kalau gitu." Aunty Jasmine membuang napas kecil. "Bubu mandi, terus ganti baju. Aunty siapin makan malam sekarang."
"Oke, Aunty."
Magenta mulai berjalan ke arah pintu kamarnya setelah Aunty Jasmine melepas tangannya dari kedua bahunya. Saat menggerakkan knop pintu kamar itu, pintunya tak mau terbuka.
Magenta mengernyit. Ia yakin sekali tidak menguncinya sebelumnya. Kuncinya pun sudah hilang tiga tahun yang lalu.
"Ish!" seru Magenta emosi. Bisa-bisanya pintu ini mempermainkan Magenta lagi. Apa pintu ini rusak lagi seperti kasus jendela kamarnya?
Oh, ayolah, Magenta sudah gerah dan mau menyapa air dingin. Magenta terus-menerus menggerakkan knop pintu dengan emosi hingga suaranya menggema di satu rumah yang sepi karena Kak Ardi sedang kuliah dan Uncle Bram sedang di kantor.
Aunty Jasmine yang mulanya hendak ke dapur untuk memasak, jadi batal karena mendengar suara yang dihasilkan Magenta bersama knop pintu. Segera, Aunty Jasmine mengunjungi sumber suara.
"Bubu, itu pintu kamarnya Ardi!" seru Aunty Jasmine seraya geleng-geleng kepala saat melihat apa yang dilakukan Magenta.
Magenta menoleh dan memasang wajah malu. Gara-gara Adam, Magenta jadi kehilangan fokus. "Oh, iya. Makasih atas infonya, Aunty."
Kemudian, Magenta segera masuk ke pintu sebelahnya dengan lari kecil. Aunty Jasmine tertawa melihatnya. "Dasar. Bubu, Bubu. Hari ini pasti terjadi sesuatu."
***
"Cerita aja, Bubu." Aunty Jasmine melipat kedua tangannya dan menatap Magenta yang sedang makan dengan wajah penuh perhatian. "Aunty nggak bakal bilang ke siapa-siapa. Cerita Bubu aman di Aunty."
Magenta tersenyum tipis. Dari tadi, Aunty Jasmine terus menanyakan padanya tentang apakah ada yang terjadi padanya di sekolah hari ini. Meski hubungan Magenta dengan Aunty Jasmine sangat dekat seperti Ibu dan Anak pada umumnya, Magenta bukan tipe anak yang sering bercerita dan terbuka tentang hari-hari yang dilewatinya.
Apalagi ini menyangkut cinta pertama terpendamnya pada Adam. Malu kalau diumbar-umbar. Cukup Allah, Malaikat-Nya, buku diari dan Magenta sendiri yang mengetahuinya.
"Nggak ada apa-apa, Aunty," jawab Magenta untuk kesekian kalinya. "Sekolah aku berjalan kayak biasanya tadi. Nggak ada masalah apapun."
"Tapi wajah kamu bete banget waktu pulang, terus maksa banget mau masuk ke kamarnya Ardi. Jelas ada sesuatu," balas Aunty Jasmine dengan wajah tak terima. "Nggak mau tau, pokoknya Bubu harus cerita. Kalau Bubu nggak cerita, Aunty nggak mau tidur."
Magenta rasa, ia dan Aunty Jasmine benar-benar Anak dan Ibu. Lihat saja. Indra ke-enam Aunty Jasmine berkerja untuknya.
Kalau Aunty Jasmine sudah membawa tidur dalam percakapannya, Magenta tak punya pilihan lain selain menuruti kemauannya. Kalau Aunty Jasmine tidak tidur, hari akan hancur.