Magenta bersyukur karena Kak Ardi masih tidur dan kamarnya dikunci rapat, jadi ia bisa sarapan dengan tenang sekarang ini. Entah kenapa, Magenta merasa menang kali ini dalam membuat Kak Ardi sengsara. Pasti rasa kopinya kemarin sangat-sangat buruk.
Hanya membayangkannya saja membuat Magenta bergidik ngeri.
"Bubu aneh," kata Aunty memberi komentar setelah selesai masak dan kini hanya tersisa memandangi Magenta sarapan.
"Aneh kenapa?"
"Kemarin sedih, sekarang senyum-senyum," balas Aunty Jasmine, "kayak psikopat."
Magenta tersenyum kecil. "Nggak tau kenapa, Bubu seneng aja pagi ini."
"Ya, gimanapun, baguslah Bubu seneng lagi, jadi Aunty ikut seneng," balas Aunty Jasmine dengan senyuman lebar. "Eh, Aunty lupa mau tanyain ini dari kemarin. Bukannya Aunty udah kasih uang buat bayar SPP dari Minggu lalu buat dibayar kemarin? Kok Wali Kelas Bubu telepon Aunty, katanya belum dibayar sama Bubu."
Mampus pt. 2. Magenta mau kabur saja, tapi sarapannya belum habis.
"Oh, itu, anu, itu, anu, itu, anu, Aunty ... eeee," Magenta berpikir keras dengan keringat dingin membasahi pelipisnya, "Oh! Uangnya Bubu simpen di bawah kasur Minggu kemarin, jadi Bubu lupa. Maaf, ya. Nanti Bubu bayarin. Pokoknya pasti Bubu bayarin. Aunty jangan curiga uangnya Bubu manfaatin buat beli kue ulang tahun temen ya."
"Oh, oke deh kalau gitu." Aunty Jasmine mengangguk. "Aunty percaya sama Bubu."
Magenta tersenyum tak enak. "Makasih, Aunty."
"Iya, sama-sama."
***
"Aunty!"
Aunty Jasmine baru mau mulai mencuci piring saat kedatangan Magenta membuat perhatiannya teralih. Padahal baru saja, Magenta pamit berangkat ke sekolah.
"Kenapa Bubu balik lagi? Ada yang ketinggalan."
Magenta melengkungkan bibirnya ke bawah, wajahnya sangat sedih dan putus asa. Aunty Jasmine dibuat kebingungan karenanya. Padahal tadi Magenta penuh senyuman dan rasa senang.
"Aunty, liat sepatu Bubu, nggak?" tanya Magenta lemah. "Bubu udah bulan-bulanan cari di rak, di kamar Bubu sendiri juga. Di semua area rumah pokoknya."
"Semua sepatu kan disimpan di rak sepatu, Bu. Cari aja yang bener, kalau bener-bener nggak ada ...." Aunty Jasmine tak meneruskan perkataannya.
Alis Magenta terangkat, wajahnya sangat khawatir. "Kalau bener-bener nggak ada, apa Aunty?"
"Kalau bener-bener nggak ada," Aunty Jasmine memberi jeda, semakin membuat jantung Magenta berdebar-debar, "ya, berarti emang nggak ada."
"Aunty, gimana dong ... kan sekolah Bubu itu ketat banget peraturannyaaaaaaaa," rengek Magenta sedih sekali.
***
"Bismillah," kata Magenta sebelum akhirnya melangkah menuju gerbang sekolahnya.
Deretan OSIS yang bertugas langsung memberi tatapan tajam saat melihat sepatu apa yang Magenta kenakan. Magenta memang memakai sepatu boots milik Aunty Jasmine yang merupakan satu-satunya sepatu rasional yang bisa ia pakai ke sekolah meski sangat melanggar aturan. Jelas, sekolah ini punya aturan tentang warna kaos kaki, maka mustahil jika sekolah ini tak punya aturan tentang sepatu yang harus serupa Converse.
Magenta dan OSIS mempunyai sejarah kelam, karenanya Magenta siap-siap. Saat masuk ke gerbang, Magenta langsung berlari.
Ini semua gara-gara Kak Ardi. Siapa lagi orang yang pantas disalahkan atas hilangnya sepatu Magenta secara tiba-tiba pagi ini selain orang yang semalamnya dibuat emosi oleh Magenta? Tadi pagi Magenta sudah menggedor-gedor pintu kamar Kak Ardi, dibantu Aunty Jasmine juga, namun Kak Ardi tidak memberikan reaksi yang bagus.
Kini, hasilnya, Magenta kesusahan.
"HEH, SEMUANYA KEJAR DIA!"