Sebuah Prank

Dini Salim
Chapter #7

7. Javas dan Meggy

"WACCHA! HIYYA! HUP! GRRRAHHH!" 

"Buset, Kak, tenaganya besar banget." Arif, adik kelasnya di dunia ekstrakulikuler pencak silat berkomentar begitu saat Magenta menyalurkan seluruh tenaganya untuk memukul dan menendang bantalan tebal yang dibawa Arif di pundaknya. "Sakit gue, aslian."

Magenta seolah tuli. Meski sudah berkeringat dan beberapa kali kehabisan napas, ia terus melayangkan pukulan dan tendangan ke bantalan tebal di dada Arif. "HIYYA! OUCHA! BUGH! RASAIN, NIH! HIYYA!" 

Arif hanya pasrah saja karena dipakai sebagai samsak oleh Magenta. Entah apa yang membuat mood seniornya itu seburuk ini, tapi kalau Arif bisa mengetahui penyebabnya, mengetahui orangnya, Arif bakal hajar sampai mampu sebagaimana ia 'dihajar' oleh Magenta saat ini. 

Pencak silat adalah satu-satunya tempat dan ekstrakulikuler yang bisa Magenta ikuti ia sejak kelas sepuluh. Satu-satunya tempat yang membuka tangannya untuk membantu Magenta menghiasi nilai ekstrakulikuler di rapor tahunannya dengan nilai A. 

Magenta pernah bercerita bahwa seluruh seniornya saat kelas sepuluh membencinya, tapi itu tidak sepenuhnya benar. Rupanya Magenta tak membuka matanya lebih lebar waktu itu. Ternyata, masih ada senior baik hati dan kawanannya yang menerima Magenta dengan senyuman lebar. 

Yaitu, pencak silat. Iya, ekstrakulikuler yang kini diketuai oleh dirinya sendiri ini adalah penyelamatnya. Di saat orang-orang bangga dengan prestasi di ekskul mereka, Magenta punya pencak silat. 

Kebanyakan anggotanya laki-laki, jadi Magenta lebih terbiasa bermain bersama laki-laki. Hal itu juga yang membuatnya tidak punya teman dekat perempuan. Meski disanjung dan disebut Madam di kelasnya, sebenarnya satu-satunya yang tulus menemani Magenta hanya Adam. 

Adam satu-satu yang tak pernah berpaling. 

Magenta itu emosian. Magenta itu sangar. Magenta itu egois. Magenta itu mau menang sendiri. Magenta itu cepu. Magenta itu bodoh. Magenta banyak sifat buruknya, tak lebih baik dari Kak Ardi sebenarnya. Magenta sadar itu, namun ia tak tahu caranya memperbaiki diri. 

Jadi, lanjut saja seperti itu. 

Setelah lima belas menit marah pada bantalan tebal, Magenta terduduk lemah. Arif yang melihat itu langsung ambil kesempatan dan lari secepatnya untuk berlatih di tempat yang agak jauh dari Magenta, tak mau menjadi samsak lagi.

Magenta juga sudah lelah, jadi ia membiarkan Aerif pergi meninggalkannya sendirian. Sebenarnya ekstrakulikuler pencak silat kurang diminati oleh anak satu angkatannya. Entah benar tidak diminati atau anak satu angkatannya itu termakan kata-kata senior yang mengutuk Magenta dan melarang banyak orang untuk dekat-dekat dengan Magenta. 

Hanya ada lima orang yang angkatannya sama dengan Magenta di pencak silat. Kelimanya tidak aktif lagi sejak masuk akhir semester dua kelas sebelas karena saat itu ekskul tidak lagi penting untuk diikuti. Kini, hanya Magenta yang aktif dan selalu hadir setiap hari Selasa untuk latihan dan pertemuan. 

Jelas Magenta harus selalu ada. Dia ketuanya.

Saat ini, ada dua puluh kelas sebelas dan dua puluh lima kelas sepuluh yang mengikuti ekstrakurikuler pencak silat yang diketuainya. Kebanyakan orang lebih memilih taekwondo dan karate. 

Magenta pernah dengar seseorang di kelasnya berkata pada temannya begini, 'wah, emang berguna banget sih manfaatin masa lalu seseorang buat naikkin popularitas. Untuk Madam kita agak bego, jadi ekskul taekwondo jadi naik pesat anggaran bulanannya!'

Magenta benar-benar sakit hati, tapi ia pura-pura tidak mendengarnya. 

Tak hanya di sana, Magenta juga pernah mendengar seseorang berkata di toilet saat Magenta juga ada di salah satu bilik toiletnya. Begini katanya, 'ketua pencak silat itu Magenta si musuh OSIS, kan? Udah tau kan kebanyakan petinggi ekskul itu OSIS, kecuali pencak silat. Gue hasut aja kelas X yang awalnya mau masuk pencak silat pake kata-kata yang gue denger dari senior sebelumnya. Dan, yes! Berhasil deh, di kelas IPA 7 bahkan nggak ada yang masuk pencak silat." 

Magenta ingin menangis, juga tertawa.  

Meski diagung-agungkan sebagai pahlawan, sebenarnya Magenta masih dijauhi orang-orang. Seperti yang Magenta bilang, ia punya banyak sifat buruk. 

Magenta menunduk sambil membuang napas panjang.

Mengingat masa lalu, Magenta benar-benar merasa sedih.

Memangnya ada lagi kisah yang lebih menyedihkan dari Magenta? 

***

"Eh?" Azam mendekatkan wajahnya untuk membaca lebih jelas sticker yang tertempel di depan motor yang terparkir di samping motornya. Keningnya mengerut samar saat membacanya dengan jelas. "Magenta?" 

Azam berpikir sebentar. "Oh!" serunya di parkiran luar yang sedang sepi-sepinya. Azam kelihatan seperti orang gila saat senyum-senyum sendiri saat ini. "Magenta kan nama cewek itu! Iya, bener!" 

Lihat selengkapnya