"Madam Magenta, dipanggil Pak Heru!" seru Abdul yang baru saja tiba di kelas sehabis membawa buku paket ke ruang guru yang baru saja dipakai.
Bel istirahat baru saja berbunyi dan anak kelas sudah pada semangat untuk ke kantin, tapi itu tidak berlaku bagi Magenta. Perempuan yang duduk di kursi paling belakang itu melenguh panjang hingga Adam yang di belakangnya menoleh padanya.
"Gue ke kantin duluan kalau gitu," izin Adam kemudian.
Magenta menganguk lesu. "Gue titip roti cokelat satu, takutnya kehabisan."
"Woke."
Sebenarnya Magenta tak punya prasangka apapun atas dipanggilnya dirinya oleh Pak Heru. Pak Heru sendiri adalah salah pegawai tata usaha yang mengurus segala hal tentang admistrasi. Magenta merasa tak ada masalah yang ia timbulkan berkenaan dengan masalah administrasi sekolah.
Jadi, Magenta santai-santai saja berjalan ke arah ruang tata usaha. Meski beberapa anak yang terkait dengan OSIS atau relasinya dengan senior yang kini telah alumni berpapasan dengan Magenta melayangkan tatapan penuh kebencian dan gerakan mulut mengumpat, Magenta tak terpengaruhi lagi. Persetan dengan semuanya, Magenta sungguh tak peduli lagi.
"Ye, liat si dungu pas mau makan jadi nggak nafsu lagi."
"Cocornya itu terbuat dari apasih kok bisa bau telor busuk gitu."
"Liat cara dia jalan, songong banget gila."
"Cuma dia, senior yang paling nggak mau gue hormati."
"Bener-bener sampah sekolah."
Magenta membuang napasnya dengan kesal sebelum masuk ke ruang tata usaha. Dia berusaha keras untuk menahan amukannya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat. Mana mungkin Magenta membuat keributan di depan ruang tata usaha, kan. Bisa penuh buku kedisiplinan Magenta dengan cap merah.
"Siang, Pak," sapa Magenta seraya duduk di kursi di depan meja Pak Heru dengan senyuman manis. "Ada apa ya, Bapak panggil saya?"
"Nanti kamu tanda tangan tiap mau ambil baju. Paham?" Pak Heru tak mengindahkan Magenta, justru bicara pada Azam yang duduk di sebelahnya dan menyerahkan sebuah lembaran bukti transaksi.
Magenta jadi benar-benar bete.
"Siap, Pak," balas Azam dengan senyuman lebar. "Terimakasih."
Pak Heru mengangguk. Kemudian beralih pada Magenta. "Kamu yang namanya Magenta Elboury, Kan?"
"Iya, Pak."
"SPP kamu nunggak tiga bulan." Pak Heru langsung pada intinya. "Mau bayar kapan? Kata wali kamu, uangnya ada di kamu dan mau dibayar. Tapi, sampai sekarang—"
"Maaf Pak, sebelumnya," potong Magenta agak tak enak. "Bisa bapak rahasiain dulu tentang ini dari wali saya? Uangnya tiba-tiba hilang, Pak."
Pak Heru menatap Magenta dengan pandangan tak percaya. "Ya, itu masalah kamu. Kenapa jadi saya yang dibikin ribet? Pokoknya habis bulan ini SPP kamu sampai Desember, bagusnya sih Januari,, haruss. Kalau nggak, saya bakal panggil wali kamu."
Magenta menipiskan bibirnya seraya memejamkan matanya dengan frustasi. Ia berpikir sebentar, kemudian mengangguk secara berat hati. "Baik, Pak. Akan saya usahakan."
"Bagus, kalau begitu kamu boleh pergi." Pak Heru menganguk, kemudian menatap Azam dengan pandangan terkejut. "Kok kamu masih di sini?"
Azam tersentak, otomatis menatap pada Magenta dengan senyuman bodoh. "Oh, iya, Pak. Lupa saja. Kenapa jadi masih di sini saya, ya?"
Magenta mengulas senyum aneh, kemudian bangkit berdiri dan keluar dari ruang tata usaha yang diikuti oleh Azam.
***