"He Anak Baru," kata seseorang yang tak Azam ketahui namanya—satu-satunya orang di kelasnya yang Azam hafak namanya hanya Alif selaku saingan terberatnya—saat satu pelajaran telah berakhir dan ada setumpuk buku paket yang perlu dikembalikan di atas meja guru di depan sana. "Bagian lo anterin buku paket ke ruang guru."
Azam mengerutkan keningnya. "Kok gue?"
"Karena sekarang giliran lo." Aldi—nama yang tertera di badge baju anak itu—membalas agak kesal. "Di sini nggak ada ketua kelas, jadi semuanya kebagian susah juga. Cepetan."
Azam membuang napasnya dengan berat. Seumur-umur, dia tak pernah membawa buku paket ke ruang guru. Azam selalu jadi yang termalas di kelas, karenanya kini ia agak canggung karena untuk pertama kalinya ia melakukan tugas ini. Agak lebay sebenarnya.
Kelas yang Azam masukki adalah kelas rajin. Semua orang tak mau menghabiskan waktu dengan mengantar buku paket atau menghapus papan tulis kalau itu bukan bagiannya, bukan jadwalnya. Setiap detik seperti emas bagi mereka untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya, untuk belajar, membuka buku, menghafal dan membuat catatan.
Azam sendiri termasuk orang yang begitu. Sejak masuk SMA, Ayah dan Bundanya mendorong Azam supaya selalu menjadi nomor satu. Jangan membuang-buang waktu, jangan masuk organisasi yang tak penting dan sibuk di dalamnya, jangan punya teman dan jangan-jangan lainnya yang tidak berhubungan dengan belajar.
Azam mengikuti les, pulang sekolah paling siang itu jam delapan malam. Malamnya Azam juga membaca buku sastra bersama Bundanya, dilanjut belajar alat musik oleh Ayahnya. Azam lelah sebenarnya, tetapi dia harus bagaimana lagi?
Semuanya pasti bagus untuknya, untuk membuatnya bernilai di masa depan nanti, berguna di kehidupan nanti.
Namun, melihat seseorang yang kini duduk berjongkok secara menyedihkan di depan kelas yang kelihatannya sedang melakukan evaluasi harian membuat Azam ingin sesekali menjadi orang biasa-biasa, bahkan menjadi orang bodoh yang tidak mengkhawatirkan tentang pelajaran atau pencapaian prestasi.
"Meggy, lagi ngapain?"
"Hm ...?" Magenta mendongak dengan wajah lesu, berkantong mata dan mata layu seperti tidak tidur berminggu-minggu. Hal itu membuat Azam mundur selangkah dengan wajah terkejut dan jantung berdebar-debar ketakutan.
"Haa? Lo seriusan narkoba?" tanya Azam tanpa bisa dikontrol. "Hah? Hah? Hah?"
"Oh, Javas." Magenta baru sadar, jadi tidak begitu mengindahkan pertanyaan aneh dari Azam. "Gue ...."
***
Beberapa saat sebelumnya ....
"Dibilangin jam sembilan langsung tidur, lo main bareng sama siapa lagi abis sama gue?"
Adam berdecak seraya menepuk-nepuk pipi Magenta yang terus saja menguap saat sebentar lagi bel masuk berbunyi dan jam pelajaran pertama sampai ketiga diisi oleh sesi evaluasi oleh Pak Jamal. Adam khawatir Magenta akan ketiduran dan membuat masalah lagi dengan Paksa Jamal.