"Mending yang ini," kata Magenta seraya menunjuk sebuah susu kotak berperisa anggur yang merupakan varian terbaru dari susu kotak cap bebek favorit Adam. Sore ini adalah sore di hari Jum'at di mana merupakan hari terakhir mereka sekolah.
Besok dan lusa adalah hari libur di mana mereka harus bekerja keras, jadi Adam dan Magenta memutuskan untuk nongkrong di warung Bu Dinar untuk melepaskan penat. Apalagi Magenta baru saja kena semprot Pak Jamal karena kelakuannya yang memang salah.
Adam mengerutkan keningnya. "Kalau nggak enak gimana?" tanya Adam ragu. Ia sudah memegang susu kotak berperisa cokelat yang merupakan minuman terfavorit dalam hidupnya, jadi meragu saat Magenta menyuarakan hasutan.
"Kalau nggak enak, buat gue aja."
"Kan lo alergi susu sapi."
"Tapi ini cap bebek."
"Tapi ini susu sapi."
Magenta merotasikan bola matanya. "Gue alergi kalau susu kotaknya ada cap sapinya."
"Gitu?" tanya Adam memastikan.
"Iya!" seru Magenta gemas.
"Oke, kalau gitu." Adam mengangguk seraya meletakkan susu kotak cokelat ke tempatnya dan mengambil susu kotak anggur dari tempatnya. "Gue beli rasa anggur."
"Oke. Gue tunggu di kursi."
Magenta akhirnya melangkah keluar dari warung dan duduk di kursi yang disediakan. Magenta sendiri sudah membeli satu botol soda dan sudah dibuka untuk diminum saat ini. Magenta duduk dan memandangi sebuah TK, sekolah pertama di mana ia bertemu Adam.
Warung Bu Dinar letaknya tidak jauh dari perumahan Aunty Jasmine dan Adam. Hanya berjalan dua menit, maka sampailah mereka di rumah. Warung Bu Dinar juga punya makanan lengkap dan higienis. Pelanggan bisa memesan mie rebut, mie goreng, minuman es, gorengan dan bahkan makanan tradisional yang manis-manis dan basah.
Magenta selalu suka tempat ini. Nyaman pemandangannya, nyaman juga untuk dipakai tempat mengobrol.
"Asem, Ta," lapor Adam saat tahu-tahu sudah duduk di sebelah Magenta saat Magenta menoleh.
"Lebay banget," tukas Magenta agak tak suka. Kadang Adam itu lebaynya melebihi perempuan yang bercita-cita jadi selebgram di kelas Magenta. Ada yang unfol satu, mewek. Ada yang unlike satu, rengek.
"Serius, gue nggak suka," balas Adam.
"Ya udah sini, buat gue."
"Nggak ah, uang gue, nih. Sayang."
"Ck." Magenta menatap Adam dengan sengit. "Untung lo temen gue, Anaknya Saifuuuuuul. Uuu, gemes."
Adam hanya terkekeh. "Eh, liat TK, gue jadi inget waktu lo jatoh."
"Lo mah ingetnya yang jelek-jelek," balas Magenta tak minat. "Ganti lah. Ingetnya waktu gue jadi juara satu aja. Gila, seneng banget gue. Bangga banget. Ternyata dulu gue pinter."
"Salah tuh kalimat terakhir lo," kata Adam hendak memberi koreksi hingga Magenta penasaran dibuatnya. "Ternyata dulu lo pernah pinter."
"Sabar. Sabar." Magenta menipiskan bibirnya sambil menyunggingkan senyuman terpaksa. "Gue sabar."
Adam tertawa puas satu kali. Kemudian berdiri seraya melempar kotak bekas minumnya ke arah tong sampah di seberang jalan sana dan untungnya masuk dengan telak. "Yo, ah, pulang! Besok kan kita harus work hard!"
"Ayo!" seru Magenta seraya turut berdiri dan melemparkan botol bekas minumnya ke tong sampah di seberang jalan sana, mengikuti apa yang Adam lakukan.
Namun sayang, hasilnya tidaklah semulus Adam. Botol itu berujung di sisi tong sampah, tepat setelah mengenali ujung tong sampahnya yang menandakan bahwa lemparan Magenta hanya meleset sedikit saja.
"Ambil tuh," kata Adam dengan nada puas. "Tidak boleh buang sampah sembarang."
"Gue tau tanpa lo kasih tau." Mengesalkan sekali hari ini. Magenta membuang botol sodanya ke dalam tong sampah dengan emosi dan berjalan berdampingan dengan Adam menuju rumah masing-masing pada detik selanjutnya.
Jauh di tempat tersembunyi, seseorang melihat keduanya yang berpisah di tengah jalan antara dua rumah untuk setelahnya berbalik menuju rumah masing-masing yang berseberangan.
"Oh, mereka tetangga. Pantes deketnya agak beda."
***
"Cuma tetangga, Zam." Azam meyakinkan dirinya sendiri dengan penuh tekad. "Cuma tetangga. Bukan siapa-siapa. Bukan pacar."
"Kamu ngelamun?" Suara dari Bundanya yang lembut namun penuh ketegasan itu membuat Azam terkejut bukan main. Hal itu membuat Bunda semakin yakin bahwa Azam melamun di sela pelatihannya dalam bicara dengan baik dan benar.
Seperti biasa, malam ini Azam dan Bunda membaca sebuah buku untuk dibahas secara kritis.