Adam dan Magenta tiba di terminal tepat jam sepuluh. Mereka menunggu sekitar lima menit untuk melihat bus dari Jakarta tiba dan menurunkan satu penumpang yang berupa Ayahnya Magenta. Yang ingin sekali dipanggil Bang Ale oleh semua orang, jadi mari kita sebut saja Ayah Magenta dengan sebutan Bang Ale.
"AYAH!" seru Magenta keras saat Bang Ale kelihatan celingukan di balik kacamata dan masker hitamnya.
Bang Ale segera membuka kacamata hitamnya dan menampilkan mata sipitnya yang untung saja tidak Magenta dapatkan. Soalnya kata Adam, kalau Magenta sipit, maka akan Adam sebut Ncek.
Bang Ale adalah laki-laki keturunan Malaysia campur Kanada yang membuat logat dan bahasanya terdengar agak asing di telinga orang Indonesia tulen. Bang Ale jatuh cinta pada Ibu Magenta yang merupakan orang Bandung campur Kanada saat mereka tengah menempuh pendidikan di Kanada. Begitulah cerita singkat tentang Bang Ale.
"Wooo, Bubu!" seru Bang Ale senang.
"Ayah!" balas Magenta tak kalah senang. Meski agak malas untuk ke sini sebelumnya, kini Magenta sangat bahagia melihat Bang Ale yang telah lama tak ia lihat.
Saat telah berada di dekat Magenta, Bang Ale langsung memeluk Magenta dan mengangkatnya untuk dibawa berputar-putar dengan penuh rasa rindu dan senang membuncah.
Adam yang ada di sebelahnya hanya tersenyum ikut bahagia saja.
Setiap tiga bulan sekali, Bang Ale memang selalu mengunjungi Bandung untuk menemui Magenta selama satu hari. Malamnya pasti Bang Ale pulang lagi karena kerjaan yang sepertinya tak pernah bisa selesai itu.
Bang Ale punya sebuah perusahaan yang mengeluarkan banyak komik berkualitas dengan banyak pembaca setia. Bang Ale selaku pendirinya tak bisa diam saja di kursi dan memantau lewat orang kepercayaannya. Bang Ale tak mudah percaya dengan seseorang, karenanya ia merelakan Magenta agar ia bisa mencukupi kehidupannya.
Soalnya, kalau ada uang, kehidupan pasti bahagia dan mudah.
Begitu pola pikir Bang Ale.
"Oh, ada Adam juga rupanya," kata Bang Ale saat sadar ada seseorang di sebelah Magenta. Sebagai Ayah Magenta, Bang Ale sudah mengenal Adam luar dalam. "Ayo, kita makan dulu! Lapar, nih!"
Magenta melihat Adam, meminta persetujuan. Adam mengangguk saja. Berkat itulah, kini mereka bertiga ada di salah satu meja di restoran bebek jontor. Memesan satu porsi untuk masing-masing. Level terpedas dengan minuman favorit masing-masing. Bang Ale dengan teh hangatnya, sementara Adam dan Magenta dengan susu kotak dan colanya.
"Ayah kok nggak bawa barang-barang?" tanya Magenta heran, sebab terakhir kali Bang Ale mengunjunginya, pria berumur empat puluh tahun itu membawa tas besar berisi peralatan olahraga yang membuat Adam—yang juga turut hadir untuk menjemput Bang Ale—serta Magenta menghabiskan hari Minggu dengan berkeringat di ruang hijau terbuka.
"Ayah bakal shopping hari ini," balas Bang Ale ringan.
"Shopping?" Magenta mengerutkan keningnya. Adam juga ikut bingung, tapi ia diam saja.
"Iya. Belanja kalau kau nggak tau," balas Bang Ale.
"Ey, aku juga tau shopping itu belanja." Magenta menukas agak sebal. "Tapi, kita mau shopping apa?"
Bang Ale mengulas senyum penuh arti.
Sejurus kemudian, setelah selesai mengisi perut, Adam, Magenta dan Bang Ale berada di sebuah mall besar yang lengkap isinya. Magenta dibuat kebingungan saat masuk. Apakah ini nyata? Atau hanya mimpinya saja? Soalnya dari Magenta lahir, Bang Ale sangat berhemat padanya.