Waktu Magenta mematikan mesin motornya, ia terkejut karena tiba-tiba motor Adam juga ikut terparkir di sampingnya. Padahal saat Magenta keluar dari rumahnya, Adam sama sekali tak menunjukkan keberadaannya.
"Kaget gue, Dam," kata Magenta seraya memasukkan kunci motornya ke dalam saku roknya. Ia melihat Adam yang tengah membuka helm dari kepalanya dengan senyuman kecil. "Datang nggak pake assalamualaikum."
"Assalamualaikum, Genta," balas Adam langsung.
Magenta tertawa. "Waalaikumsalam, Adam."
Adem ya kalau begini? Magenta juga ingin waktu ini berhenti saat ini juga. Agar momennya dengan Adam bertahan selamanya.
"Pagi, Meggy!"
Sayangnya, ekspresi selalu lebih bagus daripada realita. Bunga-bunga dan latar pink yang awalnya menjadi latar Magenta, kini pecah berantakan ke bawah saat mendengar sapaan dari Azam yang turut memarkirkan motornya di sebelah motor milik Magenta.
Magenta menipiskan bibirnya seraya memalingkan wajahnya pada Azam. "Pagi juga."
"Ayok, ah!" ajak Adam.
Entah kenapa, Adam tak suka melihat Azam seolah punya niat untuk mendekati Magenta. Karena itu, Adam segera menarik tas Magenta untuk berjalan ke dalam sekolah.
Magenta agak kaget, namun ia mengikuti dengan pasrah. Tak paham juga dengan sikap tiba-tiba Adam ini.
"Kemarin," kata Adam mengangkat sebuah topik untuk dibicarakan lebih lanjut. "Gue masih merasa mimpi, sih. Bang Ale kok bisa sebaik itu?"
Tanpa dua orang itu sadari, Azam juga turut menguping seraya berjalan di belakang mereka dengan jarak yang lumayan dekat. Kening Azam mengerut saat mendengar nama asing yang disebut Adam.
"Lo aja nggak paham, apalagi gue," balas Magenta.
Adam menatap Magenta dengan kening mengerut. "Kan lo Anaknya, masa nggak tau."
"Suer!" Magenta membulatkan matanya dengan penuh keyakinan seraya mengacungkan dua jari tangannya yang membentuk huruf V. "Dari dulu Ayah gue kan pelitnya mirip-mirip sama lo. Gue juga heran. Setelah lo yang ngasih gue uang tiba-tiba, Ayah gue juga belanjain barang-barang impian gue dengan mudahnya. Gue merasa baru aja dapet imbalan setelah selamatin satu dunia dari satu virus mematikan."
Adam tak kuasa menahan tawa, begitu juga dengan Azam yang menguping. Namun, Magenta masih serius dengan wajah dan perkataannya, bahkan sekarang Magenta sedang berpikir kritis. "Tapi, setelah semalam gue pikir-pikir, gue sama sekali nggak pernah nyelamatin dunia atau jadi pahlawan kayak Naruto. Lalu ... kenapa gue dapat kebahagiaan ini?"