"Halo," sapa Azam setelah duduk di kursi di sebelah Magenta yang kosong. Kedatangan mengambil alih perhatian Magenta dan Adam. "Gue gabung lagi, ya."
"Oh, boleh," balas Magenta ramah. Beda sekali saat dia berhadapan dengan Adam saat hanya berdua.
Adam juga tak mengerti mengapa sikap Magenta jadi lebih datar datar dari biasanya. Sejak masuk kelas, Magenta tak mengajaknya bicara seperti sebelum-sebelumnya. Bahkan saat istirahat pun Magenta tak kelihatan semangat memakan batagornya. Padahal dulu, Magenta selalu berkicau tanpa henti hingga Adam bosan mendengarnya.
Tanpa suara Magenta, dunia Adam terasa sepi. Namun, ia tak tahu harus bagaimana untuk menyelesaikannya. Adam bahkan tak tahu apa masalahnya, jadi ia tidak bisa membahas apapun.
Mengambilnya topik seputar pelajaran pun, Magenta hanya membalas singkat dan akhirnya suasana jadi hening lagi. Sampai Azam datang, wajah Magenta tampak lebih cerah dan semangat saat Azam mengajaknya bicara tentang agenda pencak silat besok.
"Adam."
Tiba-tiba suara Stella menginterupsi kegiatan minum Adam. Tak hanya Adam yang mengalihkan pandangannya pada Stella yang kini berdiri di sebelah kursi tempat duduk Adam, Magenta serta Azam juga turut mengalihkan pandangan mereka ke Stella.
"Kenapa?" tanya Adam dengan suara ramah.
Hal itu membuat hati Magenta sedih tak karuan. Tiba-tiba lidahnya kelu, badannya lemas dan Magenta tak tahu apa yang harus dilakukan atau harus memasang wajah seperti apa. Magenta ingin hilang saja dari sini segera.
"Boleh ikut gue sebentar?" tanya Stella dengan lembut.
Magenta meringis sedih saat mendengarnya. Suara lembut Stella beda sekali dengan suara keras Magenta yang melengking dan tak indah. Magenta merasa seperti sebuah kentang saat dibandingkan dengan Stella.
"Boleh," balas Adam cepat, membuat Stella langsung tersenyum lebar. Ia segera bangkit berdiri dan menatap Magenta. "Gue duluan ya, Ta."
"Y."
Adam mengangguk, kemudian menatap Stella kembali. "Ayo."
Setelah Adam dan Stella hilang dari kantin, Azam langsung berdeham saat pandangan Magenta berubah jadi kosong pada pintu keluar kantin. Sejalan Azam membuat Magenta tersadar dan matanya mengerjap dengan senyuman miris.
Menutup rasa sedih dan kikuknya, Magenta memakan batagornya banyak-banyak sampai pipinya mengembang.
Azam memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Magenta. Kening mengerut heran saat Magenta turut menatapnya dengan bingung. "Lo kenapa makan kayak pengemis jalanan yang belum makan tiga hari?"
"Hm mm mm mmmm," balas Magenta tak jelas karena batagor serta saus kacangnya masih menyesakki ruang di mulutnya.
"Hah?"
"Hm mm mm!" seru Magenta agak emosi.
"Lah? Kok lo marah!"
"Mm mm!"
"Lo ngomong apa, sih?" tanya Azam jadi frustasi.
Magenta menatap Azam dengan mata melotot. "MM MM! MM MM MM?!"
Kalau Magenta tak menempati tempat yang spesial di hatinya, sudah pasti Azam memilih untuk pergi dari sini daripada harus berhadapan dengan perempuan aneh ini.
***
"Ekhm," deham Stella sebelum memulai pembicaraan yang ingin ia lakukan pada Adam. Stella menatap Adam dengan tak enak. "Sorry, ya. Gue ganggu waktu istirahat lo."
Adam tersenyum dengan mata teduh. Tak apa baginya ke taman depan dekat kolam ikan bersama Stella untuk terhindar dari situasi canggung bersama Magenta. "Nggak apa-apa. Lo nggak gangguan gue, kok."
"Baguslah." Stella menipiskan bibirnya seraya mengeratkan genggaman pada tepi rok. "Lo ... udah baca surat dari gue?"
Dengan terpatah, Adam mengangguk. "Sebenarnya apa maksud lo ngasih gue surat itu?"
"Gue suka sama lo."
Adam mematung.
Stella adalah anggota dari ekstrakulikuler futsal putri. Mereka bertemu setiap latihan dan Adam sudah menganggap Stella seperti saudara sendiri karena Adam adalah anak tunggal. Stella dan dirinya punya banyak kesamaan dan hampir di setiap pembicaraan yang dibawa keduanya, Adam dan Stella tenggelam di dalamnya karena amat menyukai itu. Sampai lupa waktu bahkan.
Adam sudah nyaman dengan keberadaan Stella sebagai saudaranya. Ia tak pernah menyangka Stella akan mengatakan hal itu padanya. Padahal, dengan sikap Stella selama ini yang kelihatan biasa-biasa saja, Adam sempat mengira bahwa mustahil Stella menaruh perasaan padanya.