"Dibeli dong, Bu, ini nasi goreng terenak yang pernah saya beli. Kalau nggak enak, uang kembali. Seriusan, Bu."
"Dek, dek, beli ini deh. Kamu punya uang berapa? Biar Kakak tambahin. Ini enak, bergizi. Daripada fast food atau gorengan, ini lebih aman buat lambung, Dek."
"Kak, ini buat mengganjal perutnya, dibeli!"
"Makasih, Bu."
"Makasih, Dek."
"Makasih, Kak."
Dagangan milik Adit yang diambil alih oleh Magenta benar-benar laku keras berkat skill advertising dan marketing yang dipunya oleh Azam. Magenta tak habis pikir pada Azam.
Sekarang mereka berada di restoran ayam geprek untuk makan. Azam yang akan menraktir Magenta seperti yang dibilang laki-laki itu sebelumnya.
Mau dipikirkan sebanyak apapun, Magenta masih tak percaya kini dagangannya habis. Namun, tadi seru juga. Magenta banyak tertawa karena Azam sangat lucu dalam berkata-kata. Wajahnya yang penuh memelas dan akting yang bagus juga menghibur Magenta.
"Sejak kapan lo jadi anak pemasaran?" tanya Magenta bercanda, tetapi sebenarnya ia juga penasaran. "Eh, tapi, apa di Bina Insani Nusantara ada jurusan pemasaran?"
Azam tertawa keras. "Bisa ngelucu juga ya lo. Gue anak IPA tulen, ya."
Magenta cemberut. "Habisnya lo jago banget jualannya. Heran gue. Dengan skill lo yang jago ini, lo bisa jadi ketuanya, deh."
"Hah? Ketuanya?" Azam tak menyangka ia bisa mendapatkan pujian sebesar ini. Padahal dia berjualan dengan cepat dan agak memaksa karena takut telat masuk les. Sekarang tersisa sepuluh menit sebelum waktu istirahat habis. "Emang sekarang ketuanya siapa?"
Wajah Magenta langsung bete saat teringat Adam lagi. Padahal beberapa saat yang lalu ia sudah melupakannya berkat Azam. "Ketuanya Adam."
Sama seperti wajah Magenta, Azam juga bete saat mendengarnya. "Jadiin gue ketua kalau gitu."
"Eh, mana bisa." Magenta membalas dengan tawa hambar. "Ngaco lo."
"Ck, jadiin gue anggota kalau gitu," pinta Azam cepat.
Magenta menatap Azam tak percaya. "Cuma karena lo bantuin gue satu kali, bukan berarti lo bisa masuk dengan mudah, Javas bin ... nama bapak lo siapa?"