"Gue kecewa sama lo," balas Adam dengan wajah mengeras lagi setelah mendengar berantakan dan sederet kemarahan Magenta yang menurutnya tak jelas itu.
"Emangnya gue nggak kecewa sama lo?" Magenta tersenyum miring. Dia tak ingat lagi bagaimana perasaannya pada Adam. Sekarang, Magenta benar-benar marah. "Gue juga kecewa sama lo. Apa Stella lebih penting dari Jajanan Urang? Kalau Stella lebih penting, harusnya lo BUANG aja Jajanan Urang sekalian. Jangan tanggung-tanggung lah kalau jadi brengsek."
"Apa? Brengsek?" Adam membuang tawa tak percayanya sambil berkacak pinggang. "Lo ngatain gue brengsek barusan?"
"Iya!" seru Magenta dengan mata melotot. Dia tak peduli kalau Adam lahir lebih tua sepuluh bulan darinya dan kini Magenta memberinya kata-kata umpatan kasar. "Gue bilang lo brengsek karena lo emang brengsek, Brengsek!"
Adam tertawa hambar. "Gue tau dari mana lo belajar bahasa kasar. Waktu gue sama Stella, gue selalu liat lo sama Azam. Pasti pengaruh buruk ini dari dia, kan? Lo bahkan berani teriak-teriak sambil marah-marah ke gue sekarang."
"Lo malah bawa-bawa yang dingin ke sini?" tanya Magenta heran. "Padahal jelas-jelas di sini lo yang salah! Lo yang bikin gue begini!"
"Apa?"
"Jangan pura-pura bego di depan gue lah, Dam." Magenta hampir menangis. "Gue tau lo suka sama Stella dan ngilang tiga Minggu dari Jajanan Urang buat jenguk dia. Tapi, lo nggak perlu kecewa kalau seandainya posisi lo justru digantiin sama Javas, karena ini semua salah lo!"
Adam membuka mulutnya, namun tak bisa berkata apa-apa untuk membalasnya. Lidahnya terlalu kelu, entah kenapa.
"Javas Bantuin gue jualan, Javas juga traktir gue, Javas juga baik, dia lebih baik dari lo soal jualan. Gue rasa, dalam beberapa hal, Javas lebih baik dari lo," lanjut Magenta dengan suara lelah. "Harusnya lo nggak marah, Dam. Lo sendiri yang sibuk sendiri, bukan gue yang ngajak orang asing ke Jajanan Urang."
Gigi Adam saling menekan hingga rahangnya ikut mengeras. Saat ini, Magenta melihat ekspresi termakan Adam selama bersahabat dengannya.
"Dan Javas Bukan orang asing," tukas Magenta dengan wajah serius. "Dia udah lebih dari teman buat gue. Dia keluarga gue. Sama kayak member Jajanan Urang yang lain."
Adam lagi-lagi tertawa hambar. "Sejak kapan lo deket sama Azam?"
"Sejak lo sibuk sama Stella," balas Magenta penuh penekanan.
"Dia lagi sakit, Magenta," tukas Adam frustasi. Magenta sendiri paham kalau Adam memanggil namanya dengan benar, artinya laki-laki itu tak bercanda sama sekali. "Dia butuh gue."
"Apa gue di sini nggak butuh lo?" Raut wajah Magenta terlihat sangat terluka dan memelas.
Adam tersentak. Keningnya mengerut tak mengerti. "Apa?"
"Gue juga butuh lo," balas Magenta menjelaskan. "Sabtu lo sibuk sama Stella, gue ngerti itu. Minggunya? Lo tiba-tiba nggak bisa dihubungi sama sekali. Senin? Lo sama Stella di kantin. Selasa? Lo pulang bareng dia. Rabu? Lo juga main sama Stella. Kamis? Lo main futsal sama Stella juga. Jum'at? Lo bahkan nggak noleh waktu gue ajak buat piket di kelas, lo sibuk sama Stella Lagi. Waktu lo buat gue kapan, Dam?"
Hanya angin sore menjelang malam yang menyambut perkataan panjang Magenta. Adam terlalu shock menghadapi kenyataan yang sama sekali tak ia sadari. Kalau Magenta tak bicara, Adam tak akan pernah tahu hal itu.
"Lo temen deket gue, lo duduk di kursi depan gue, lo juga tetangga gue, tapi gue nggak bisa menemukan lo di sisi gue tiga Minggu ini," lanjut Magenta dengan air mata yang mulai bercucuran. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin menangis saja. "Kenapa bisa gitu, Dam? Lo ke mana aja?"
Adam memejamkan matanya, tiba-tiba merasa sangat lelah dan ingin segera pergi dari hadapan Magenta. "Stella sakit. Keadaan—"