"Hiya! Hiya! Mampus lo! Mampus!" Magenta seolah tak peduli lagi dan memukul-mukul jamur yang muncul. Dia sedang bermain sebuah game dan tujuan game-nya adalah memukul kepala jamur yang muncul secara menyebalkan. "Kena lo, kena! Mati lo, Brengsek! Mati!"
Azam hanya tertawa melihat bertapa antusiasnya Magenta dalam bermain. Padahal harusnya Azam yang melampiaskan kesedihannya, Magenta justru lebih cocok menjadi orang yang melampiaskan kemarahannya.
Mereka berada di Timezone seperti yang dikatakan Azam beberapa saat yang lalu. Mereka mencoba banyak game bersama-sama. Sudah sekitar empat puluh menit itu berlalu dan tak ada satu katapun yang terucap dari mereka. Sebab masing-masing fokus untuk menumpahkan apa yang terjadi hari ini, yang membuat suasana hati mereka buruk.
Ketika akhirnya mereka lelah, Azam dan Magenta memiliki berhenti dan membeli minuman untuk mendinginkan tubuh yang sebelumnya sangat panas habis main game. Azam dan Magenta duduk di sebuah kursi, bersebelahan tanpa inisiatif membuat percakapan karena kini hening sudah cukup menenangkan hati masing-masing.
Magenta mengambil napas dan membuangnya pelan-pelan selama beberapa saat. Azam pun hanya diam seraya menyeruput minumannya dan menatap kosong pada jalanan malam di mana orang-orang berlalu lalang.
"Sebenarnya lo kenapa?" tanya Magenta tiba-tiba, membuat Azam sedikit tersentak dan menoleh pada Magenta pada detik itu juga.
Magenta menahan pertanyaan itu sejak dari detik pertama ia melihat Azam yang berlari padanya dalam balutan jas hitam seperti baru saja menghadiri sebuah acara kelulusan. Jujur, Magenta sempat terpesona karena Azam berpenampilan lebih menawan dari biasanya. Tidak hanya Magenta sebenarnya, setiap orang yang melihat Azam juga terpesona.
Sayang sekali, wajah Azam sama sekali tidak berseri-seri sehingga membuat Magenta kesulitan untuk mencari pertanyaan dan waktu yang tepat untuk mengeluarkannya. Sampai Magenta di saat ini yakin bahwa waktunya tepat untuk ia bertanya.
Azam mengulas senyum tipis. "Gue ada masalah di rumah. Nggak mau pulang."
"Hm," gumam Magenta pelan. Kemudian dia membuang napas panjang lagi. "Nggak apa-apa kalau lo nggak mau cerita."
Azam tertawa kecil. "Lo sendiri gimana? Lo kenapa?"
"Ha?" Magenta malah tertawa hambar, memang wajah polos. "Emangnya gue kenapa?"
Sebenarnya Azam melihat Magenta saat itu. Saat mengungkapkan perasaannya pada Adam dan berakhir ditinggal sendirian oleh Adam. Azam menjadi saksi bahwa tidak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan. Selalu ada rasa yang hadir di sana, entah dirasakan dua pihak, atau menyedihkannya, hanya dirasakan satu pihak.
"Bagus kalau nggak apa-apa." Azam tak mau bertanya-tanya lagi karena merasa Magenta memang tak mau menceritakan hal itu padanya.
Sampai tiba-tiba sebuah sering ponsel milik Magenta menginterupsi segalanya. Saat melihat nama Ayah tertera sebagai pihak yang memanggil nomornya, mata Magenta tak bisa untuk tak melotot. Azam melihat reaksi Magenta dengan wajah bingung.
"Kenapa?" tanya Azam penasaran.
"Vas, sekarang jam berapa?" tanya Magenta horor.
Azam melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, kemudian menatap Magenta lagi. "Jam sembilan."
"Mati gue," rutuk Magenta frustasi.
"Kenapa?" tanya Azam lagi.
Magenta menggeleng kecil, kemudian menaruh jari telunjuknya ke atas permukaan bibirnya sendiri, menyiratkan pada Azam untuk diam dulu. Dengan jantung berdebar-debar, Magenta menatap ponselnya. Sesaat, Magenta agak ragu, namun akhirnya memilih untuk menolak panggilan Ayahnya itu.
"Siapa?" tanya Azam kemudian.
"Ayah gue."
"Kenapa nggak diangkat?"
"Kalau diangkat, gue cari liang lahat artinya," balas Magenta dengan keringat dingin. "Kita pulang aja, yuk?"
Azam mengangguk. "Oke." Azam segera berdiri. "Gue anterin lo sampai rumah dulu, baru gue pulang."
Magenta mengangguk saja. Pikirannya kini sudah terpaku pada Ayahnya. Magenta jadi kurang fokus bahkan untuk berjalan karenanya. Azam beberapa kali menarik tangan Magenta karena perempuan itu hampir menginjak lubang biopori.
Saat akhirnya tiba di mobil yang dipesan Azam untuk mengantar Magenta ke rumahnya, Azam tak bisa untuk tak menatap khawatir pada Magenta.
"Lo kenapa, Bubu?" tanya Azam lembut.