Adam duduk sendirian di kantin.
Mendadak, semuanya terasa sangat kacau. Adam memiliki banyak pikiran dalam otaknya bahkan hingga tak bisa fokus di kelas
Stella dengan jadwal operasi besarnya yang kian dekat hingga sekarang tak sekolah, Magenta yang kemarin sore mengutarakan sesuatu yang masih Adam anggap sebagai halusinasi semata karena dirinya lelah dan hilangnya Magenta hari ini. Maksudnya, Magenta tak sekolah dengan alasan yang jelas. Panggilan Adam ke ponselnya pun terus ditolak.
Adam sangat frustasi.
"Puas lo udah bikin nangis Bub—maksud gue, Magenta?"
Suara itu tiba-tiba masuk ke telinga Adam. Karena itu, Adam mendongak, menatap Azam dengan sebotol Sprite di tangannya dan ada senyum meledek di wajahnya. "Gara-gara lo, hari ini gue harus beli minuman soda ini sendiri. Harusnya dibeliin sama Magenta. Tapi, gara-gara lo, dia sekarang nggak sekolah."
"Lo tau apa tentang Magenta," balas Adam dengan tawa hambar. Dia rasa Azam hanya main-main dengannya. "Jangan gangguin gue. Mending lo urusin urusan lo sendiri. Gue lagi pusing."
Bukannya pergi sesuai keinginan Adam, Azam justru duduk di depan Adam dengan sebuah senyuman lebar. Wajahnya jadi serius saat Adam mulai mengeraskan raut wajahnya. "Lo marah?"
"Jangan ngulang kesalahan yang sama," tukas Adam dengan penuh penekanan. "Gue bosen ribut sama lo."
"Gue nggak bakal gini kalau lo nggak bikin Magenta susah," balas Azam dengan nada yang tak kalah tajam.
Adam tertawa seraya mengalihkan wajahnya. Dia merasa devaju sekarang. "Lo tau apa tentang gue sama Magenta?"
"Gue tau banyak sejak gue liat Magenta buat pertama kali," jawab Azam terus terang. "Dan gue nggak akan biarin lo bikin Magenta susah terus."
Adam menatap Azam dengan mata marah. Ia tak tahu sedekat apa Magenta dengan Azam. Satu yang pasti, Adam tak suka melihatnya. "Ngapain lo deket-deket sama Magenta?"