Sebuah Prank

Dini Salim
Chapter #30

30. Bisa Hidup 100 Tahun

"Ayah, kita mau ke mana?" Magenta bertanya saat Bang Ale melajukan mobilnya selesai dari rumah makan ke arah yang bukan ke rumah barunya ataupun rumah Aunty Jasmine dan Uncle Bram.

Sejak makan, Bang Ale tidak mengatakan apa-apa dan jenis kemarahan itulah yang membuat Magenta semakin takut. Jika meledaknya Bang Ale sampai teriak-teriak marah sudah membuat takut, maka Bang Ale yang marah tanpa mengatakan apa-apa alias dalam diam membuat Magenta pipis di celana. 

Bahkan Bang Ale tidak mengungkit tentang pelanggan jam malam atau mengintrogasi apa yang dilakukan Magenta hingga pulang jam sembilan kemarin. Mereka hanya makan dalam diam dan Magenta tak tahu Bang Ale akan mengajaknya ke mana setelah ini. 

"Rumah sakit." Bang Ale menjawab tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan. 

Magenta merasa jantungnya meledak saat mendengar jawaban itu. Magenta menatap Bang Ale dengan khawatir. "Hah? Ayah sakit?" 

"Nggak."

"Terus kenapa kita ke rumah sakit?"

"Nanti kau juga tau. Jangan banyak tanya."

Magenta hanya bisa duduk diam di kursinya. Menunggu apa yang akan dilakukan Bang Ale di rumahnya. Meski tak tahu apa-apa, entah kenapa Magenta merasa sangat ketakutan. 

***

"Anak Bapak sehat-sehat saja. Sebuah organ tubuh bekerja dengan sangat baik. Karena asupan makanannya selalu dengan rasio yang benar dan anak Bapak suka berolahraga, maka tubuhnya lebih kebal dari rata-rata remaja seusianya." Dokter berkata begitu di hadapan Magenta dan Bang Ale setelah Magenta mengalami berbagai tes beberapa saat yang lalu. "Bapak harus bangga dengan anaknya. Sepertinya umurnya akan mencapai seratus tahun." 

Bang Ale langsung tertawa. Tawa lega sekaligus bangga. Bang Ale bisa lega untuk seratus tahun ke depan jika laporan kesehatan Magenta begitu. Ia sengaja mengajak Magenta ke rumah sakit untuk diperiksa kesehatannya. Bang Ale takut Magenta mempunyai penyakit tak terduga yang berujung dengan kesedihan.

"Baiklah, Pak Dokter. Terimakasih atas jasanya. Kami pamit." 

Dokter yang menangani pemeriksaan kesehatan Magenta itu tersenyum lebar. "Sama-sama, Pak. Saya senang jika jasa saya membuat Bapak senang."

Sejurus kemudian, Magenta dan Bang Ale sudah berada di mobil kembali. Kini, Bang Ale mengendarainya ke arah rumah baru.  

Magenta berdeham, menatap Bang Ale dengan heran. "Ayah kenapa cek aku segala?" tanya Magenta heran. 

"Apa salahnya cek?" Bang Ale justru balik bertanya. "Kalau kamu kena suatu penyakit kan siapa juga uang berabe." 

Magenta cemberut. "Entah kenapa, aku merasa Ayah aneh sekarang."

"Dosa tuh ngatain Ayahnya," balas Bang Ale tak senang. 

"Habisnya—"

"Teman kau yang ngajak main itu," potong Bang Ale tiba-tiba. Kini nadanya sangat serius, "Ayah mau ketemu dia sekarang." 

"Hah?" Magenta tak bisa mengendalikan mulutnya untuk tak terbuka. Beruntung ia bisa mengendalikan air liurnya, jadi ia tak ngiler—sakit terkejutnya. "Kok tiba-tiba, Yah? Temen aku kan lagi sekolah."

"Sekarang jam lima. Udah pasti udah pulang," balas Bang Ale terdengar tak peduli. 

"Tapi kasian, Yah," tukas Magenta tak terima. Mana tegaia meminta Azam untuk menemui Ayahnya sepulang sekolah. "Capek pastinya. Baru aja pulang—"

"Kemarin aja main sampai jam sembilan malem." Bang Ale lagi-lagi memotong dengan nada tak senang. "Mana pulang sekolah jam empat aja udah capek." 

Magenta tak bisa membalas lagi.

"Kasih tau, kita ketemu depan rumah, gitu." 

"Rumah siapa?" 

"Rumah kita-lah!"

Baru kali ini Magenta merasa tak enak untuk mengajak seseorang bertemu. 

***

Lihat selengkapnya