Magenta tak bisa menahan diri lagi. Sepulang sekolah, ia menunggu kedatangan Adam di depan rumah Aunty Jasmine. Magenta ingin meluruskan segalanya. Magenta tak mau semalaman ia tak bisa tidur karena terus kepikiran soal Adam dan masalahnya.
Sore ini, Magenta ingin semuanya selesai.
Tak lama ia menunggu, Adam terlihat dengan motornya di ujung jalan sana. Adam juga melihat keberadaan Magenta. Awalnya ia hendak tak menghiraukannya, tapi Adam merasa dirinya harus berhenti dan turun dari motornya untuk menghadap pada Magenta sebelum dia masuk ke rumahnya.
Dengan langkah perlahan, Adam berjalan ke arah Magenta, kemudian berhenti tepat satu meter di depannya. Magenta menarik napas berat, kemudian menatap Adam dengan lekat, dengan serius.
"Dam," kata Magenta dengan suara dalam.
"Hai," sapa Adam membalas. Ada senyum kecil yang masih menjadi favorit Magenta di wajah tampannya. Adam senang Magenta menyapanya kini.
Namun, Magenta membekukan hatinya, menghapus segala bentuk senang di wajahnya. Hari ini Magenta akan memutuskan. Apakah ia akan tetap beku, atau cair kembali. Tergantung tanggapan dari Adam.
"Lo mau kita jadi orang asing aja, atau tetep temenan kayak dulu seolah nggak terjadi apa-apa?" tanya Magenta serius.
Kening Adam sedikit mengerut mendengar. "Apa pertanyaan itu perlu ditanyain? Jelas gue memilih temenan kayak dulu."
"Oke kalau gitu. Gue bakal tetep jadi temen lo seolah nggak terjadi apa-apa." Magenta tersenyum, meski rasanya pahit, tapi ia tetap memaksakan. "Kalau gitu gue pamit pulang—"
"Maaf," potong Adam tiba-tiba.
Magenta batal pergi.
"Lagi-lagi harus lo duluan yang nyamperin gue," lanjut Adam penuh penyesalan. "Lo pasti hafal gue gimana. Gue pikir lo masih marah dan nggak mau gue sapa tadi, soalnya lo kelihatan begitu. Gue nggak enak buat ngomong sama lo tiba-tiba. Gue nggak pandai—"