Sebuah Prank

Dini Salim
Chapter #34

34. Not Like Just Friend Anymore

"Kalau makan tuh jangan suka belepotan. Kayak anak kecil aja," kata Adam seraya mengambil selembar tisu kering di meja Dinda—yang memang gemar membawanya—dan mengelap sudut bibir Magenta yang kotor dengan saos dari bakso goreng yang dibawanya dari kantin. Padahal waktu istirahat masih satu pelajaran lagi, tapi Magenta nakal dan jajan bukan pada waktunya karena guru yang bersangkutan belum masuk juga.

Hal itu membuat perhatian anak-anak teralih dengan wajah shock. 

"Wadaw, wadaw, ada drakor real-life, nih?"

"Madam sama Adam. Hm, cocok, kok, cocok." 

"Sejak kapan, nih?" 

"Aduh, teman tapi menikah, jadi, nih!"

"Bakso aja satu mangkok!" 

Magenta yang awalnya sangat terkejut dan membeku saat Adam begitu perhatian dengan cara yang berbeda tersadar akan sahutan-sahutan itu dan memandang mereka dengan tajam.

"Apasih?" Magenta melotot. "Urusin urusan kalian masing-masing!" 

"Maaf Bapak telat, anak-anak." 

Magenta langsung menyembunyikan bakso gorengnya di kolong meja saat Pak Hadi—guru Fisika—telah datang untuk mengisi kewajiban mengajarnya di kelas. Beruntung untuk Magenta karena berkat itu, ia bisa salah tingkah dan kesenangan tanpa dilihat Adam. 

Baru-baru ini, Adam memang gemar berbuat manis dan sangat perhatian pada Magenta. 

Mulai dari membelikan Magenta roti cokelat dan cola kesukaannya, menangkis bola futsal yang mengarah pada Magenta secara tak sengaja dengan gaya gentle yang membuat hati Magenta meleleh, memberi pinjaman balpen secara inisiatif, memperbaiki posisi tas Magenta yang biasa ditenteng asal atau sekedar mengacak rambut Magenta dengan lembut. 

Tak jarang juga, Adam mengajak Magenta untuk fotbar dan diposting di media sosial Adam sendiri sehingga banyak orang yang salah paham atas kebersamaan mereka. Orang-orang melihat Adam dan Magenta sebagai sepasang kekasih, bukan hanya teman lagi. 

Padahal, itu tidak benar. Eh, tapi, ... apa mungkin pertemanan mereka tidak lagi hanya teman seperti dulu?

***

Magenta sedang membuka kulkas kantin saat tiba-tiba seseorang turut berdiri di sampingnya. Azam menoleh pada Magenta dengan senyuman lebar. 

"Beliin gue Sprite," kata Azam seraya mengambil sebuah botol dan membawanya pada ibu-ibu penjual. "Dibayarin sama dia, ya, Bu." 

Magenta tersenyum saja. Saat ini ia sangat senang dan membayarkan satu minuman untuk seseorang yang memang sudah menjadi sebuah kesepakatan bukan sebuah masalah besar. Setelah membayar Sprite Azam, susu kotak Adam dan cola miliknya, Magenta berjalan ke tempat duduknya. 

Magenta terkejut karena Azam sudah duduk di depan Adam saat ia tiba di sana. Magenta duduk di sebelah Azam karena memang di sana kursi yang ia duduki sebelumnya. 

Wajah Adam dan Azam sama sekali tak bersahabat. Mereka saling melempar tatapan tajam dan membuat Magenta heran. 

"Kalian kenapa, sih? Lagi shooting film Tom and Jerry?" 

"Nggak." 

"Dih." 

Adam dan Azam membalas jutek hampir bersamaan. 

"Ngapain lo?" tanya Adam tak suka. 

"Bukan urusan lo." 

"Meja yang lain banyak."

"Gue pengen duduk deket sama Magenta."

Adam menatap Azam dengan penuh amarah. 

Alis Azam terangkat satu. "Kenapa? Nggak boleh? Emangnya Magenta punya lo?" 

Adam Tak bisa membalas. Magenta makin bingung dengan keduanya.

Mau bertanya lagi, tapi sepertinya bukan hal yang tepat untuk dilakukan karena mata Adam dan Azam sama sekali tak mau lepas untuk saling melempar tatap. Magenta tak mau mengganggu kemesraan mereka.

Jadi, Magenta diam saja sambil menikmati makanan dan minumannya sendiri. 

***

Kelas dua belas sudah benar-benar dibebastugaskan dari ekskul atau kegiatan lainnya yang tidak berhubungan dengan pelajaran dan UN. Jadi, hari Kamis sebagai hari favorit Magenta sudah hilang sempurna. Setiap hari sama saja bagi Magenta sekarang. 

Hari ini ia pulang lebih awal karena tidak latihan silat, begitupula dengan Adam. Hari ini Magenta benar-benar sudah berada di kamarnya dengan baju tidur saat jam baru menunjukkan pukul lima sore. Magenta agak bosan, jadi ia membuka MacBook miliknya dan membuka folder khusus yang berisi foto-foto Adam. 

Kalau mengoleksi foto seseorang tanpa izin menjadi kejahatan, maka Magenta sudah menjadi buronan kelas atas sekarang. Magenta tersenyum-senyum sendiri saat melihat foto Adam yang hampir semuanya sama. Datar-datar saja. Meski begitu, Magenta tak pernah merasa bosan melihatnya. 

Kalau Adam tahu tentang ini, apa dia akan marah? Atau justru kecewa? Magenta mengacak rambutnya karena tiba-tiba memikirkan sesuatu yang buruk. Bahkan setelah ia mengungkapkan kejujuran yang terberat dalam hidupnya pada Adam, ternyata masih ada kejujuran yang ia tunda. 

Mengetahui sahabat dekatnya mengambil foto tanpa izin, mengoleksinya dan bahkan menjadikan wajahnya sebagai tokoh komik tanpa izin, bagaimana tanggapan Adam nanti? 

***

"Setelah prosesnya selesai, kamu pergi dari sini. Azam biar aku yang urus." Bunda berkata tegas dengan nada marah pada Ayah. 

"Nggak. Azam sama aku." 

"Bagaimana perasaan Azam kalau kamu mau bawa dia tinggal bareng perempuan baru kamu itu? Kamu bakal menghancurkan konsentrasi Azam buat lulus!" seru Bunda berapi-api. 

"Aku bisa atasi itu. Kamu nggak kenal Azam dengan baik, anak itu punya mental yang bagus! Nggak kayak kamu!" balas Ayah dengan emosi tertahan. 

Bunda tertawa hambar, tak percaya mendengar itu dari mulut Ayah. "Apa? Jadi, kamu emang tega bawa Azam ke masalah kamu?" 

"Masalah mana yang kamu maksud?" 

"Kamu dan perempuan yang sudah hamil tiga bulan itu masalahnya! Azam pasti malu kalau dia punya Ayah yang udah korupsi, eh, sekarang punya istri baru yang udah hamil bahkan sebelum pernikahan—"

Plak! 

Lihat selengkapnya